Bima News: Opini
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 Agustus 2021

Bukan Pajak Yang Menyebabkan Harga Tes PCR Tinggi

Yacob Yahya

Oleh: Yacob Yahya, SE, Ak, MBA. (Pegawai Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sumbawa Besar)

 

Beberapa waktu yang lalu, mengemuka wacana bahwa pajak disinyalir oleh pihak tertentu sebagai penyebab mahalnya tes usap reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) Covid-19. Harga tertinggi tes PCR sempat menyentuh Rp 900 ribu, sebelum akhirnya Presiden Joko Widodo memberikan arahan bahwa harga tes PCR pada kisaran Rp 450-550 ribu beberapa hari yang lalu, dengan hasil keluar secepatnya dalam sehari.

Merespons permintaan presiden, kementerian kesehatan akhirnya mengatur bahwa harga tes PCR di Jawa-Bali paling tinggi Rp 495 ribu, sedangkan di luar Jawa-Bali termahal Rp 525 ribu.

Jika dibandingkan dengan beberapa negara, harga tes PCR di Indonesia lebih mahal. Kota Delhi, India, menerapkan harga tes PCR Rp 96 ribu (500 rupee). Negeri jiran Malaysia mematok tarif Rp 679 ribu (200 ringgit). Filipina memberlakukan harga Rp 427 ribu (1.500 peso). Vietnam menawarkan harga Rp 460 ribu (734 ribu dong). Turki mengenakan harga Rp 422 ribu (250 lira). Ukraina rata-rata menetapkan harga Rp 654 ribu hingga Rp 800 ribu (1.200 – 1.500 hryvina). Di Rusia, biaya tes PCR berkisar mulai Rp 316 ribu hingga Rp 431 ribu (22 – 30 dolar AS). Ada pun, tes dengan hasil keluar dalam dua jam, dikenakan harga Rp 517 ribu (36 dolar AS).

Lalu, benarkah tingginya biaya tes PCR di Indonesia lantaran pajak? Melalui keterangan di berbagai media, pihak kementerian kesehatan lebih menekankan harga bahan baku, termasuk reagen, yang masih diimpor yang menjadi penyebab harga tes PCR masih mahal. Apakah impor bahan baku tes PCR dikenakan pajak? Justru melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2020, tentang Pemberian Fasilitas Pajak terhadap Barang dan Jasa yang Diperlukan Dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan Perpanjangan Pemberlakuan Fasilitas Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), pemerintah menyediakan sejumlah fasilitas pajak atas pengadaan barang dan jasa terkait penanganan wabah COVID-19. Penyediaan fasilitas perpajakan itu pun diperpanjang menjadi sampai dengan 31 Desember 2021.

Sejumlah fasilitas pajak tersebut antara lain Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak dipungut dan pembebasan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas impor atau perolehan barang kena pajak berupa obat-obatan, vaksin dan peralatan pendukung vaksinasi, peralatan laboratorium, peralatan pendeteksi, peralatan pelindung diri, peralatan untuk perawatan pasien, atau peralatan pendukung lainnya oleh badan/instansi pemerintah, rumah sakit, atau pihak lain (pihak tertentu).

Pembebasan pajak atau pajak ditanggung pemerintah (DTP) untuk vaksin dan alat kesehatan disiapkan Rp20,85 triliun. Agar mempercepat proses vaksinasi, Pemerintah juga mengguyur sejumlah kemudahan untuk importasi vaksin, yakni berupa fasilitas pembebasan bea masuk dan/atau cukai, tidak dipungut PPN, dan dibebaskan dari PPh Pasal 22 Impor. Selain itu, vial vaksin impor juga dilayani dengan rush handling, yakni layanan kepabeanan atas barang impor tertentu yang karena karakteristiknya memerlukan pelayanan segera untuk dikeluarkan dari kawaan pabean.

Selain itu, Undang-Undang PPN juga menegaskan bahwa jasa pelayanan kesehatan medis seperti jasa dokter umum, dokter spesialis, jasa paramedis dan perawat, jasa rumah sakit, klinik kesehatan, serta laboratorium kesehatan bukan merupakan jasa kena pajak sehingga tidak dipungut PPN. 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pajak tidak membuat harga tes PCR mahal. Bahkan, pajak justru menyediakan sejumlah insentif dan kemudahan pengadaan barang dan jasa dalam rangka penanganan pandemi COVID-19 ini. Oleh karena itu, ini merupakan kesempatan yang tepat bagi masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas perpajakan ini sesuai dengan ketentuan. (*)

         

Rabu, 07 Juli 2021

Menanti Indeks Kebahagiaan Indonesia di Tengah Pandemi

Iin
Oleh: Iin Suprihatin (Statistik Pertama BPS Kota Bima)

 


Beragamnya indikator ekonomi dalam merepresentasikan tingkat kesejahteraan penduduk mengakibatkan perhatian dunia berpindah pada  aspek sosial dalam pembangunan sumber daya manusia. Sektor ekonomi yang sebelumnya menjadi ukuran kesejahteraan ternyata dinilai belum mampu menggambarkan tingkat kesejahteraan yang sesungguhnya. Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa indikator ekonomi makro yang telah digunakan selama ini akan diabaikan atau  digantikan dengan indikator kesejahteraan begitu saja




Selama beberapa tahun ini semakin diakui bahwa ukuran tingkat kesejahteraan penduduk penting untuk dicermati tidak saja hanya ukuran moneter (Beyond Gross Domestic Product). Indikator kesejahteraan disusun tidak hanya untuk menggambarkan kondisi kemakmuran material (welfare atau well-being) saja, tetapi juga lebih mengarah kepada kondisi kesejahteraan subjektif (subjective well-being) atau kebahagiaan (happiness).

Lebih jauh, Indikator kebahagiaan akan menggambarkan tingkat kesejahteraan subjektif terkait beberapa aspek kehidupan yang dianggap esensial dan bermakna bagi sebagian besar penduduk. Berbagai penelitian terkait kebahagiaan menunjukkan fenomena bahwa kebahagiaan penduduk akan berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan pembangunan dan perkembangan sosial .

Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 2014 melakukan studi yang mendalam melalui survei pengukuran tingkat kebahagian.  Terminologi kebahagiaan lebih dipilih oleh BPS dibandingkan istilah kesejahteraan. Pertimbangan utamanya mengacu pada penggunaan instrumen survei yang telah dikembangkan berdasarkan ukuran kondisi objektif dan tingkat kesejahteraan subjektif, yang dalam konteks kebahagiaan yang dicakup dalam tiga dimensi besar, yaitu Dimensi Kepuasan Hidup (life satisfaction), Dimensi Perasaan (affect), dan Dimensi Makna Hidup (eudaimonia).

Output dari Survei Pengukuran Tingkat Kebahagian adalah indeks kebahagiaan, yaitu  indeks komposit yang menggambarkan ukuran tingkat kepuasan yang dinilai secara subjektif oleh penduduk berdasarkan hasil evaluasi terhadap kondisi objektif mencakup sepuluh domain kehidupan, perasaan, dan makna hidup. Kerangka kerjanya dibangun dengan turut memasukkan kondisi sosial ekonomi penduduk Indonesia sebagai determinan yang turut memengaruhi kebahagiaan penduduk.

Survei  pengukuran tingkat kebahagiaan terakhir  kali dilakukan BPS pada tahun 2017. Rata-rata tingkat kebahagiaan penduduk Indonesia sebesar 70,69 pada skala 0 sampai 100. Kondisi penduduk Indonesia saat itu dianggap cukup bahagia. Hal yang menarik dari survey tersebut yang menempatkan Maluku Utara sebagai propinsi dengan indeks kebahagian tertinggi di Indonesia yaitu sebesar 75,68. Sedangkan  Papua menjadi propinsi dengan tingkat kebahagiaan terendah  67,52.

Di tengah pandemi covid-19 ini, BPS kembali melakukan pengukuran tingkat kebahagiaan penduduk. Survei ini dilaksanakan selama bulan Juli di seluruh wilayah Indonesia. Bagaimana indeks kebahagiaan penduduk Indonesia di tengah pandemi? (*)

 

 

 

 

Sabtu, 12 Juni 2021

Dinamika Ketenagakerjaan Kota Bima di Tengah Pandemi

Iin
Oleh: Iin Suprihatin (Statistisi Pertama BPS Kota Bima)
 

Pandemi Covid-19 tidak hanya berimbas pada dunia kesehatan, lebih dari itu dampaknya dirasakan sangat signifikan pada sektor perekonomian, termasuk di dalamnya ketenagakerjaan. International Labour Organisation (ILO) memprediksi bahwa secara global pandemi akan menyebabkan sekitar 195 juta orang kehilangan pekerjaan. Lebih jauh lagi ILO menyatakan empat dari lima pekerja (81%) merasakan dampak dari berhentinya operasi perusahaan atau pengurangan jam kerja.

Di Indonesia berdasarkan data Kementrian Ketenagakerjaan, sejak kebijakan social distancing April 2020 digulirkan sekitar dua juta pekerja formal dan informal terkena PHK imbas dari pandemi. Jumlah itu memiliki potensi bertambah mengingat trend kenaikan angka terkonfirmasi Covid-19.

Ketenagakerjaan di Kota Bima tidak luput dari serangan pandemi. Badan Pusat Statistik Kota Bima dalam Statistik Ketenagakerjaannya mencatat pada tahun 2020, tingkat pengangguran mencapai 4,42 persen mengalami kenaikan 0,24 persen jika dibandingkan dengan tahun 2019 yaitu sebesar 4,18 persen. Masalah penggangguran menjadi isu krusial yang harus segera diselesaikan dalam proses pemulihan ekonomi tahun 2021 pasca pandemi. 

Selain itu terjadi penurunan persentase jumlah buruh/karyawan di Kota Bima sekitar 0,32 persen  jika dibandingkan dengan tahun 2019. Kelesuan bisnis akibat pandemi menjadi indikator utama pengusaha merumahkan bahkan memberhentikan buruh/karyawan.

Serapan pekerja di bidang informal sepanjang tahun 2020 mengalami peningkatan  hingga  4,10 persen. Peningkatan ini disebabkan karena sektor informal lebih mudah mengubah jenis usaha tergantung pada kondisi perekonomian daripada pekerja formal. Namun di sisi lain, pekerja informal memiliki akses yang terbatas terhadap program perlindungan sosial dan program pemerintah lainnya. Sebagai contoh, program Pemulihan Ekonomi Nasional yang dirancang untuk menanggulangi dampak pandemi baru menyasar sektor formal. Oleh sebab itu, perlu juga program penanggulangan krisis yang menargetkan pekerja di sektor informal.

Peranan pemerintah dalam membuat road map program pemulihan perekonomian daerah sangat diperlukan. Yaitu dengan mengorganisir semua pihak yang terlibat dalam percepatan penanganan pandemi, menyediakan permodalan, berupa anggararan pemerintah maupun dari lembaga keuangan. Selain itu pemerintah harus mendorong pengusaha menengah dan besar memberikan andil dalam membantu usaha rakyat dan UMKM yang berjuang memulihkan perekonomian daerah, memfasilitasi pengembangan pemasaran ke wilayah lain, hingga memberikan akses investasi di Kota Bima. (*)

Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja 

 

Senin, 07 Juni 2021

Belajar dari ETHIOPIA

Khairuddin Juraid
Oleh: Khairuddin Juraid (Jagakarsa, 6 Juni 2021)
 

Apa yang terlintas dalam pikiran kita, tatkala mendengar ETHIOPIA ?  Kemiskinan, Kelaparan, Pengangguran,  kekerasan, perang saudara dan sederet persepsi negatif lainnya. Memori generasi saya tentang Ethiopia, terwakili dari penggalan lirik lagu yang diciptakan Iwan Fals.

 “Selaksa do'a penjuru dunia

Mengapa tak ubah bencana

Menjerit Afrika

Mengerang Ethiopia”

Bencana kelaparan di Ethiopia,mengundang solidaritas global,termasuk Indonesia yang kala itu sedang menikmati booming pangan (beras). Melalui badan PBB FAO Indonesia mengirim bantuan 100rb ton gabah dan $ 25.000 tahun 1987. Kondisi tersebut tak berubah, hingga tahun 2000 masih menjadi negara termiskin ke 3 di dunia dengan pendapatan perkapita $ 350. Banyak kalangan menyimpulkan Ethiopia akan hilang sebagai negara.

Tapi itu dulu, situasi telah berubah, negeri tertua tersebut, kini menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi. Medio 2008 sampai 2017 pertumbuhan ekonomi Ethiopia rata-rata berada di atas 10 persen. Pada 2018 pertumbuhan ekonomi Ethiopia mencapai 8,5 persen, mengalahkan ekonomi tiongkok yang hanya tumbuh 6,5%.

Ekonomi Ethiopia tidak sebatas mengalami pertumbuhan, namun yang menakjubkan terjadi pemerataan secara luas. Menurut data Bank Dunia, Kemiskinan turun, tahun 2000 angka kemiskinan 44%, tahun 2011 menjadi 30% , dan tingkat harapan hidup naik,  tahun 2000 usia 52 tahun,  sejak 2017 naik menjadi 66 tahun, begitupun angka kematian bayi juga berkurang 50% selama periode tersebut.

Food Sustainability Index,  menjadikannya sebagai negara adidaya pertanian dan ketahanan pangan, menempati urutan ke 12 di dunia, setingkat dibawah USA urutan ke 11.  Saat yang sama, Indonesia dulunya negeri yang sukses swasembada pangan, kini menjadi negeri  nett importir untuk beberapa komiditi pertanian. Bukti kesuksesan swasembada pangan, menjadikan daerah kita NTB dijuluki sebagai BUMI GORA.

Apa sebab Ethiopia bisa maju ?

Ada beberapa musabab yang mendorong kemajuan Ethiopia. Tata kelola Pemerintahan yang baik,. Populasi usia Produktif, optimalisasi dan modernisasi sektor Pertanian, Sektor Jasa dsb.

Negara yang dipimpin peraih Nobel Perdamaian 2019 ini,  memiliki populasi usia produktif terbesar di benua hitam. Sekitar 70% dari 112juta penduduknya usia produktif.  Berbekal jumlah penduduk terbesar kedua di Afrika dengan populasi usia produktif yang besar merupakan salah satu faktor yang mendorong kemajuan ekonomi Ethiopia. Inilah juga yang melatari perusahaan Indonesia berinvestasi di negeri yang menggunakan kalender Julian ini. Maka tak heran, Indomie dan Sabun B-29 yang dulu akrab ditelinga generasi baby boomers, sekarang amat populer di Ethiopia. 

Saya mengamati, Provinsi NTB, bilkhusus, Kab Bima, memiliki potensi untuk tumbuh menjadi daerah yang maju. Jika beberapa hal dilakukan seperti layaknya Ethiopia. Mungkin kurang tepat membandingkannya dengan NTB dan Kab Bima. Namun ada beberapa kemiripan dari sisi populasi usia produktif dan sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB.

Berdasarkan data BPS sekitar 54 persen populasi Kabupaten Bima berusia 18-60 tahun. Usia produktif ini mengacu pada kriteria World Health Organization (WHO). Artinya Kab Bima sedang dan akan menikmati bonus demografi. Dimana jumlah usia produktif lebih banyak dari jumlah usia tidak produktif.

Sektor pertanian sebagai  punggung pembanguan Ethiopia dan kab Bima. Seperti diketahui, sumbangan sektor pertanian terhadap PDB  Ethiopia sekitar 40 persen,  sebelumnya sekitar 80 persen, namun secara perlahan berkurang karena bergeser ke sektor jasa dan Industri.  Sektor pertanian di Kab Bima, memberikan sumbangan terbesar  terhadap PDRB yakni 43 persen. 

Kisah pilu kelaparan di Ethiopia,tentu tidak pernah terjadi di Nusa Tenggara Barat dan Kabupaten Bima. Tapi ancaman seperti itu bisa saja terjadi, jika kita salah kelola. Oleh sebab itu,  maka sudah saatnya kita berpikir dan bertindak maju dengan memanfaatkan potensi yang ada. Salah satunya memberikan afirmasi pada kaum muda usia produktif dengan memprioritaskan pembangunan sektor pertanian. Agar lalat-lalat tidak berdansa cha cha dan anak bayi tidak menangis ditetek ibunya. (*)

 

 


Kamis, 03 Juni 2021

Kenaikan Harga Komoditas Makanan Pacu Inflasi Mei 2021

Iin
Oleh: Iin Suprihatin (Statistisi Pertama BPS Kota Bima)
  

Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bima, Rabu  (2/6/2021)  merilis Indeks Harga Konsumen (IHK) secara bulanan (month-to-month/mtm) Mei mengalami  inflasi sebesar                0.84 persen. Angka ini searah dengan kondisi nasional juga mengalami inflasi sebesar 0,32 persen.  Laju inflasi  tahunan (year-on-year/yoy) Kota Bima tercatat sebesar 1,86 persen.

Sebagian besar kelompok komoditas  makanan, minuman dan tembakau menyumbang inflasi  sebesar 1.78 persen. Selain itu perawatan pribadi dan jasa lainnya sebesar 0.70 persen, Perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga sebesar 0.62 persen, Transportasi sebesar 0.51 persen, Pakaian dan alas kaki sebesar 0.32 persen, Kesehatan sebesar 0.18 persen, dan Perlengkapan, peralatan dan pemeliharaan rutin rumah tangga sebesar 0.13 persen.

Kenaikan  harga komoditas makanan pacu inflasi sebesar 2,24 persen. Beberapa komoditas yang harganya  terpantau merangkak naik antara lain ayam hidup, daging ayam ras, ikan tongkol/ ikan ambu-ambu, tomat, dan angkutan udara. Sedangkan yang mengalami penurunan harga antara lain cabai rawit, ikan layang/ ikan benggol, beras, bawang merah, dan cabai merah.

Meskipun mengalami inflasi,  BPS Kota Bima juga memotret fenomena deflasi sebesar – 0,02 persen  di beberapa kelompok komoditas  seperti informasi, komunikasi, dan jasa keuangan.

Berdasarkan pemantauan harga di berbagai lokasi di Kota Bima, kelompok komoditas rekreasi, olahraga, dan budaya, Pendidikan, dan Penyediaan makanan dan minuman/restoran tercatat tidak memberikan andil inflasi.

Inflasi tertinggi di Indonesia  terjadi di Manokwari  sebesar 1,82 persen dan terendah di Tembilahan sebesar 0,01 persen. Sedangkan deflasi tertinggi terjadi di Timika sebesar -0,83 persen dan terendah di Palembang  sebesar -0,02 persen. (*)

Selasa, 25 Mei 2021

Memotret Potensi Desa di Indonesia

Iin

Oleh: Iin Suprihatin (Statistisi Pertama BPS Kota Bima)

 

Desa dan setingkatnya saat ini menjadi entitas penting Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hadirnya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi pada kabinet Indonesia Maju, sebagai wujud keseriusan pemerintah untuk melakukan percepatan pembangunan desa. Sekaligus memegang mandat untuk menjalankan Nawacita ketiga Presiden Jokowi yaitu “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”. Dengan salah satu agenda besarnya mengawal penerapan UU No.6 Tahun 2004 tentang Desa secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan dengan melakukan fasilitasi, supervisi, dan pendampingan kepada desa, sehingga menjadi modal penting untuk mengawal perubahan desa demi mewujudkan desa yang mandiri dan inovatif. Implementasi program pembangunan desa perlu didukung oleh ketersediaan data yang aktual dan faktual  berbasis wilayah (spasial).

Badan Pusat Statistik dengan tugasnya sebagai penyedia data statistik akurat yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya, dalam rangka mendukung Indonesia Maju, Sejak tahun 1980 melakukan pendataan Potensi Desa (Podes) secara rutin demi menangkap  fakta penting terkait ketersediaan infrastruktur dan potensi yang dimiliki oleh setiap wilayah untuk memantau perkembangannya secara berkala dan terus menerus. Data Podes  memegang peranan penting dalam penetapan dana desa.  

Berdasarkan PP Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana DesaSetiap desa akan mendapatkan dana maksimal sebesar 1,4 miliar rupiah. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa pengalokasian dana desa dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis. Agar dana tersebut tepat sasaran maka pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta BPS untuk menyediakan data terkait tingkat kesulitan geografis.

Data  Podes merupakan data dasar yang dipergunakan untuk melakukan penghitungan Indeks Kesulitan Geografis (IKG). IKG disusun dari tiga komponen. Pertama, ketersediaan pelayanan dasar seperti fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan dan lain-lain serta kemudahan dalam mengakses layanan dasar. Kedua, kondisi infrastruktur sosial dan ekonomi. Ketiga, akses transportasi. Angka ini kemudian dijadikan salah satu input formulasi besaran dana desa pada tahun 2015 - 2020. Selain itu data Podes juga digunakan untuk mengetahui tingkat kemajuan desa melalui Indeks Pembangunan Desa (IPD).

Pada tahun 2021, BPS kembali melakukan pengumpulan data Podes. Rangkaian kegiatan pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2021. Responden dalam kegiatan Podes merupakan aparatur desa dan setingkatnya. Mengingat pentingnya pemanfaatan data Podes kemampuan petugas dan pengetahuan apartur desa dalam memotret data pembangunan desa sangat dibutuhkan. (*)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sabtu, 22 Mei 2021

Desa Cinta Statistik, Saatnya Desa Berbenah!

Iin
Oleh: Iin Suprihatin (Statistisi Pertama BPS Kota Bima)
 

Berbagai data dikumpulkan di tingkat desa tetapi tidak semua meninggalkan jejak untuk desa.

Dalam pidatonya pada hari sumpah pemuda ke 92, Pak Jokowi mengungkapkan bahwa untuk “mewujudkan Indonesia yang satu kita juga harus bekerja sama membangun Indonesia-sentris dengan membangun dari pinggiran, dari desa, dari pulau terdepan hingga perbatasan”.

Desa, sebagai wilayah administrasi terendah secara mandiri diharapkan menjadi subyek pembangunan. Tujuannya mengurangi kesenjangan pembangunan perdesaan dan perkotaan yang cenderung bias perkotaan (urban bias). Sesuai dengan amanat  UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri.

Perhatian pemerintah saat ini  terhadap desa semakin besar. Dibuktikan  dengan sejak digulirkannya Dana Desa (DD) tahun 2015 lalu  senilai  20,76 triliun  terus mengalami peningkatan jumlah hingga  tahun 2021 Alokasi Dana Desa mencapai 72 triliun. 

Dengan alokasi DD sangat besar tiap tahunnya  yang  digelontorkan pemerintah fakta di lapangan menunjukkan pada tahun 2020 masih terdapat sekitar 2 466 desa termasuk dalam kategori desa sangat tertinggal, selain itu 13.961 desa lainnya dengan status tertinggal berdasarkan data Indeks Desa Membangun (IDM) yang bersumber dari   Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi.

Saat ini pemerintah menetapkan tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) desa dalam upaya untuk mempercepat pembangunan di Indonesia. Dalam Permendesa PDTT Nomor 13 Tahun 2020, dana desa tahun 2021 dapat diprioritaskan untuk pendataan desa, pemetaan potensi dan sumber daya, serta pengembangan teknologi informasi dan komunikasi, dalam rangka percepatan pencapaian SDGs desa. SDGs desa merupakan indikator total pembangunan desa. Terdapat 18 komponen SDGs desa, di antaranya desa tanpa kemiskinan, desa tanpa kelaparan, desa sehat dan sejahtera, kemitraan untuk pembangunan desa.

Untuk mendukung upaya pembangunan desa demi tercapainya mencapai SDGs desa diperlukan penyediaan data yang aktual, faktual dan terstandarisasi. Data ini penting untuk perencanaan pembangunan seperti penyusunan RPJM dan RKP desa, pengajuan DD, pelaksanaan dan pemantauan perkembangan pembangunan, serta evaluasi program pembangunan desa.

Kelemahan desa saat ini adalah tidak memiliki data-data primer yang aktual,  faktual dan terstandarisasi dengan baik. Pendataan terkait desa saat ini sudah dilakukan,  berbagai kementerian membuat program pengelolaan desa untuk mencapai Key Performance Indikator (KPI) masing-masing. Namun di sisi lain belum menetapkan kriteria kompetensi aparatur desa, selain itu datanya masih terserak di berbagai kementerian dan lembaga. Perlu upaya untuk penyatuan menjadi satu data yang dapat dipergunakan  oleh berbagai pihak untuk mendorong pembangunan desa.

 Untuk mewujudkan hal tersebut, BPS meluncurkan quick wins berupa Desa Cinta Statistik (Desa Cantik), Program Desa Cantik ini merupakan bentuk tanggung jawab BPS dalam melakukan pembinaan statistik sektoral. sejalan dengan semangat satu data Indonesia yaitu mewujudkan keterpaduan perencanaan pelaksanaan, evaluasi, dan pengendalian pembangunan. Melalui program Desa Cantik ini diharapkan nantinya sistem informasi desa berbasis masyarakat dapat dioptimalkan.

Program Desa Cantik hanya memasukkan 100 desa yang terpilih dari 83.820 wilayah administrasi setingkat desa yang diseleksi oleh panitia nasional berdasarkan pelayanan umum dan keterbukaan informasi publik. Kota Bima juga didaulaut menjadi nominasinya. Desa yang terpilih akan dilakukan pendampingan oleh BPS agar menjadi desa yang berdayaguna dan mampu mengembangkan desanya melalui data-data yang dimiliki.

Pembinaan yang akan dilakukan meliputi penentuan kebutuhan, tata cara pengumpulan mengolah dan menganalisis, menjaga kualitas, dan memanfaatkan data untuk pembangunan. Dari pembinaan ini diharapkan, terjadi peningkatan kemampuan aparatur desa. Mengingat kompetensi SDM masing-masing desa tidak sama.

Peningkatan kompetensi aparatur desa dalam tata kelola statistik disasarkan untuk mempercepat pembangunan desa. Dengan peningkatan kompetensi aparatur desa dalam pemahaman data, diharapkan proses transfer dana desa menjadi lebih cepat dan potensi desa dapat dikembangkan. Desa Cantik merupakan salah satu upaya mewujudkan SDGs desa dengan membangun kemitraan desa dengan BPS melalui penyediaan data-data desa. (*)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jumat, 21 Mei 2021

Kebangkitan Ekonomi, Pulihkan Negeri

Triana
Penulis : Triana Pujilestari, S.Si, M.SE (Fungsional Umum BPS Kota Bima)
 

Pandemi Covid-19 sudah hampir empat belas bulan lamanya mendera Indonesia sejak pemerintah mengonfirmasi infeksi korona pertama di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020. Tak hanya menciptakan krisis kesehatan masyarakat, pandemi Covid-19 secara nyata juga mengganggu aktivitas ekonomi nasional.

Keputusan pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak April 2020 berdampak luas dalam proses produksi, distribusi, dan kegiatan operasional lainnya yang pada akhirnya mengganggu kinerja perekonomian. Ekonomi Indonesia 2020 diperkirakan tumbuh negatif. Angka pengangguran dan kemiskinan meningkat.

Untuk membangkitkan kembali ekonomi nasional di tengah pandemi, pemerintah telah menerbitkan beragam regulasi dengan tujuan agar roda ekonomi nasional kembali bergerak ke arah positif.

Beragam kebijakan ekonomi telah ditetapkan pemerintah untuk menahan dampak negatif Covid-19 sepanjang 2020. Tahun 2021 ini, strategi pemulihan ekonomi nasional tetap dilanjutkan agar roda ekonomi nasional pulih kembali.

Harkitnas


Potret ekonomi Indonesia selama Covid-19

Secara umum, pandemi Covid-19 telah berdampak buruk pada ekonomi nasional sepanjang tahun 2020 lalu kendati mulai triwulan empat 2020 mulai membaik. Kondisi ekonomi  nasional itu tampak dari sejumlah indikator perekonomian, seperti pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinan dan tingkat pengangguran.

Laju pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2020 diperkirakan mengalami pertumbuhan negatif. Pada kuartal I 2020, pertumbuhan ekonomi masih tumbuh 2,97 persen (yoy), tetapi memasuki kuartal II terkontraksi hingga 5,32 persen (yoy).

Kuartal II merupakan puncak dari semua kelesuan ekonomi karena hampir seluruh sektor usaha ditutup untuk mencegah penyebaran virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. PSBB sebagai langkah penanganan pandemi Covid-19 yang diterapkan pada sejumlah daerah di Indonesia merupakan faktor yang menyebabkan kontraksi pertumbuhan ekonomi pada pada triwulan II 2020.

Memasuki kuartal III, saat PSBB mulai dilonggarkan, kegiatan ekonomi mulai menggeliat. Kontraksi ekonomi mulai berkurang menjadi 3,49 persen. Namun, karena dua kuartal berturut-turut kontraksi, maka ekonomi Indonesia secara teknis masuk dalam resesi. Pada kuartal I-2021, pertumbuhan ekonomi masih terkontraksi sebesar 0,74 persen (yoy), tetapi sudah menunjukkan perbaikan dibandingkan dengan kuartal IV 2020 yang terkontraksi sebesar 2,19 persen (yoy). 

Daya beli masyarakat

Pertumbuhan ekonomi yang memburuk sepanjang 2020 tak terlepas dari daya beli masyarakat yang tergerus selama pandemi. Padahal, konsumsi rumah tangga selama ini menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Sepanjang 2020, pandemi membuat jutaan pekerja harus kehilangan pekerjaan atau mengalami penurunan pendapatan. Kebijakan PSBB untuk mencegah penyebaran pandemi Covid-19 menyebabkan terbatasnya mobilitas dan aktivitas masyarakat yang berdampak pada penurunan permintaan domestik.

Seiring dengan kondisi tersebut, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2020 tercatat 2,83 persen (yoy), kemudian pada triwulan II 2020 mengalami kontraksi 5,51 persen (yoy), triwulan III terkontraksi 4,04 persen (yoy), dan triwulan IV terkontraksi 3,61 persen (yoy).

Daya beli masyarakat turun terutama karena berkurangnya penghasilan di samping karena terbatasnya aktivitas. Di tengah semua ketidakpastian, masyarakat terutama golongan menengah ke atas mengerem pembelian barang-barang yang dianggap tidak pokok.

Penghasilan masyarakat yang menurun karena pandemi menyebabkan sebagian besar sektor usaha mengurangi aktivitasnya atau tutup total. Angka pengangguran pun meningkat. Badan Pusat Statistik dalam Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2020 menunjukkan, Covid-19 berimbas pada sektor ketenagakerjaan. Sebanyak 29,12 juta orang atau 14,28 persen dari 203,97 juta orang penduduk usia kerja terdampak pandemi.

Jumlah pengangguran meningkat sejumlah 2,56 juta orang menjadi 9,77 juta orang. Jumlah pekerja formal turun 39,53 persen menjadi 50,77 juta orang dari total 128,45 juta penduduk yang bekerja. Sebaliknya, jumlah pekerja informal melonjak 60,47 persen menjadi 77,68 juta orang.

Regulasi pemulihan ekonomi nasional

Untuk meredam dampak ekonomi Covid-19 seperti disebut di atas, sepanjang tahun 2020, pemerintah telah menerbitkan beragam regulasi dan kebijakan untuk menahan dampak buruk di bidang ekonomi sekaligus mengupayakan pemulihan ekonomi.

Pemulihan ekonomi nasional dilakukan dengan mengambil kebijakan fiskal dan moneter yang komprehensif. Di samping itu, pemerintah juga mengalokasikan dana APBN 2020 untuk pemulihan ekonomi sebesar Rp 695,23 triliun.

Pemulihan ekonomi nasional diharapkan mulai terasa pada triwulan III 2020. Meskipun tidak bertumbuh positif, diharapkan, ekonomi nasional tidak berkontraksi sebesar triwulan II. Selanjutnya, pada triwulan IV 2020, diharapkan ekonomi nasional bertumbuh positif sehingga kontraksi tahun 2020 bisa ditekan sekecil mungkin.

Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat tiga kebijakan yang dilakukan pemerintah, yaitu peningkatan konsumsi dalam negeri, peningkatan aktivitas dunia usaha, serta menjaga stabilitasi ekonomi dan ekspansi moneter. Kebijakan tersebut dilaksanakan secara bersamaan dengan sinergi antara pemegang kebijakan fiskal, pemegang kebijakan moneter, dan institusi terkait.

Terkait daya beli masyarakat, pemerintah telah mengalokasi anggaran sebesar Rp 172,1 triliun untuk mendorong konsumsi/kemampuan daya beli masyarakat. Dana tersebut disalurkan melalui bantuan langsung tunai (BLT), Kartu Pra Kerja, pembebasan listrik, dan lain-lain. Pemerintah juga mendorong konsumsi kementerian/lembaga serta pemerintah daerah melalui percepatan realisasi APBN/APBD. Selain itu, konsumsi juga diarahkan untuk produk dalam negeri sehingga memberikan multiplier effects.

Di sektor dunia usaha, pemerintah berusaha menggerakkan melalui pemberian insentif/stimulus kepada UMKM dan korporasi. Untuk UMKM, pemerintah antara lain memberikan penundaaan angsuran dan subsidi bunga kredit perbankan, subsidi bunga melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Ultra Mikro (Umi), penjaminan modal kerja sampai Rp 10 miliar dan pemberian insentif pajak, misalnya Pajak Penghasilan (PPh Pasal 21) ditanggung pemerintah.

Untuk korporasi, pemerintah memberikan insentif pajak, antara lain bebas PPh Pasal 22 impor, pengurangan angsuran PPh Pasal 25 dan pengembalian pendahuluan PPN serta menempatkan dana pemerintah di perbankan untuk restrukturisasi debitur. Pemerintah juga memberikan penjaminan modal kerja untuk korporasi yang strategis, prioritas, atau padat karya.

Untuk  mendukung pemulihan ekonomi nasional, Bank Indonesia berupaya tetap menjaga stabilisasi nilai tukar rupiah, menurunkan suku bunga, melakukan pembelian surat berharga negara (SBN), dan stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Tujuan penurunan suku bunga adalah meningkatkan likuiditas keuangan untuk mendorong aktivitas dunia usaha.

Strategi Kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional 2021

Pemerintah menyakini, tahun 2021 akan menjadi titik balik perekonomian Indonesia. Untuk membangkitkan kembali ekonomi, pemerintah tetap melanjutkan program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Melalui PEN ini, diharapkan dapat mendorong daya beli masyarakat di tahun 2021 sekaligus untuk memperluas penciptaan lapangan kerja di Indonesia.

Anggaran untuk program PEN 2021 ditetapkan sebesar Rp 553,09 triliun. Dimana nilai tersebut hampir setara dengan realisasi angggaran PEN 2020, yakni Rp 579,78 triliun.

Strategi PEN tahun 2021 akan difokuskan pada empat kegiatan. Pertama, belanja kesehatan akan menjadi prioritas pertama, termasuk pengadaan testing, obat-obatan, alat kesehatan, insentif tenaga kesehatan dan rumah sakit, serta memastikan ketersediaan vaksin.

Kedua, melanjutkan stimulus fiskal, baik kementerian/lembaga (K/L) maupun non-K/L pada sektor-sektor yang memberi dampak multiplier tinggi terhadap penciptaan lapangan pekerjaan maupun pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, belanja pemerintah akan diarahkan kepada pembelian barang yang diproduksi dalam negeri sehingga dapat memberikan dampak besar terhadap permintaan barang dalam negeri.

Keempat, belanja bantuan sosial, program cash for work, program sembako, PKH, subsidi tenaga kerja baik sektor formal maupun informal, sehingga dapat menambah daya beli kelompok berpenghasilan rendah yang  selanjutnya dapat mendorong konsumsi masyarakat. 

Harapan

Program PEN tahun 2020 telah mendongkrak roda perekonomian yang telah lesu dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini tampak dari laju pertumbuhan ekonomi yang mulai membaik di kuartal keempat tahun 2020 dan menurunnya angka pengangguran pada Februari 2021.

Selain itu, program PEN membangkitkan optimisme bagi perekonomian tahun 2021 yang diproyeksikan akan membaik secara perlahan, yang didukung juga oleh penyelenggaraan vaksinasi Covid-19 di berbagai daerah.

Dari sisi permintaan (demand side), stimulus dari bantuan sosial tunai diharapkan mampu meningkatkan daya beli masyarakat. Fokus program pada sektor UMKM juga diharapkan mampu mengembangkan pasar UMKM Indonesia, yang nantinya mampu membuka lapangan-lapangan pekerjaan baru.

Tentu saja harapan pemulihan perekonomian melalui program PEN 2021 ini tak luput dari komitmen pemerintah dalam menjalankannya. Harus ada koordinasi yang baik antarsektor kementerian/lembaga agar anggaran ini bisa tersalurkan secara utuh dan tepat sasaran.

Sistem penyelenggaraan yang baik dan keseriusan pemerintah juga sangat diperlukan agar mampu menarik kepercayaan para investor untuk masuk ke Indonesia, yang nantinya akan turut berperan dalam pemulihan serta pertumbuhan ekonomi nasional. (*)

 


Jumat, 07 Mei 2021

Peran Orang Tua Pada Masa Pandemi Covid-19

Novi
Oleh: Novi Nurbayti Putri (Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Mataram)
 

Pandemi Covid-19 yang menyerang dunia saat ini telah mengubah segala aspek kehidupan. Begitu juga dengan pendidikan anak. Saat ini mereka lebih banyak bejlajr dari rumah melalui belajar Daring dan Luring.

Selama anak-anak belajar dari rumah (study for home) maka, peran orang tua sangat diperlukan. Memberikan edukasi kepada anak-anak yang masih belum memahami tentang pandemi yang sedang mewabah. Menjaga mereka  untuk tetap berada diri di rumah agar tidak terlular dan menularkan wabah Covid-19.

Saat ini belajar dari rumah sangat efektif pada masa pandemi ini, namun bukan berarti pembelajaran di sekolah tidak lebih efektif. Karena itu, orang tua harus mengambil peran lebih, sekaligus menjadi guru bagi anak, selama mereka berada di rumah. Orang tua harus mendukung, memastikan anaknya menerima dan menjalani pendidikan yang berkualitas. Orangtua perlu membuat anak menyadari bahwa belajar adalah hal penting yang terus dilakukan dengan menciptakan suasana yang nyaman dan menyenangkan.

Suasana rumah juga harus mendukung, agar anak merasa nyaman untuk belajar. Termasuk memberikan ruang yang cukup supaya terjalin komunikasi dan interaksi yang harmonis antar orang tua dengan anak. Sehingga memberi dampak positif terhadap perkembangan mental dan perilaku anak.  

Orang tua bertanggungjawab menyediakan lingkungan yang aman, memantau aktivitas anak, membantu mengembangkan emosi sosial dan kognitif, serta menyediakan arahan dan panduan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga anak merasa aman dan kondusif. Anak mampu mengeksplorasi kemampuannya hingga menemukan berbagai hal baru yang dapat meningkatkan level perkembangan kognitif, sosial, dan emosional. Harapannya, kelak mereka menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan produktif.

Ketika mendampingi anak, orang tua membantu anak untuk memahami apa yang harus dikerjakan. Orang tua juga penting menanyakan sesuatu yang bisa dibantu,  sehingga membangun hubungan positif dengan anak. Bertanya tentang apa yang bisa dibantu, bukan berarti mengerjakan semua yang seharusnya dikerjakan anak.

Peran orang tua dalam membantu anak memahami apa yang harus dikerjakan dengan membaca kembali tugas dari sekolah. Jika masih mengalami kesulitan, orang tua atau anak bisa menghubungi kembali guru melalui telepon, SMS, atau WA untuk meminta penjelasan terhadap tugas yang dimaksud.

Agar pembelajaran anak berjalan sesuai keinginan lingkungannya juga harus membantu anak untuk memahami materi pebelajaran. Tak hanya orang tua yang berperan di rumah untuk mendidik,  melainkan juga seluruh anggota keluarga yang tinggal dalam rumah tersebut.

Salah satu hikmah yang luar biasa dari wabah Covid-19 ini, orang tua, anak  dan anggota keluarga lain lebih banyak di rumah dan menjalankan peran strategisnya sebagai pendidik utama dan pertama bagi putra-putrinya

Mendampingi anak untuk mendapatkan hak belajar adalah sebuah peran mulia yang memerlukan kesadaran dan kecakapan orang tua dalam menjalankannya. Lingkungan belajar yang kondusif disertai pendampingan yang tepat dari orang tua akan mengarahkan anak semakin memahami kondisi dan situasi yang terjadi. Termasuk memberikan banyak ruang bagi orang tua dan anak untuk membangun komunikasi dan hubungan yang semakin baik  dalam membangun ketahanan keluarga. (*)

 

 

Rabu, 05 Mei 2021

Catatan Kualitas Pendidikan Indonesia

Triana
Oleh : Triana Pujilestari (Fungsional Umum BPS Kota Bima)
 

Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal 2020 sudah meluluh-lantahkan semua sendi kehidupan di hampir semua negara, tidak terkecuali Indonesia. Masyarakat yang terbiasa dengan mobilitas tinggi sekarang harus dibatasi pergerakannya dan dianjurkan untuk di rumah saja. Bahkan diawal masa pandemi, Presiden mengimbau untuk bekerja dari rumah, sekolah dari rumah dan beribadah di rumah saja hingga muncul gerakan #dirumahsaja demi menekan persebaran virus Covid-19.

Belajar Daring

Pandemi dan dunia pendidikan

Adanya pandemi menyebabkan diberlakukannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di hampir semua wilayah Indonesia. Untuk merespon hal tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) melalui Surat Edaran No.4/2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19, mewajibkan pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dilakukan secara daring/jarak jauh.

Pembelajaran secara daring adalah hal baru bagi guru maupun peserta didik. Pembelajaran daring memaksa murid untuk lebih bisa mandiri dalam proses belajar. Pembelajaran daring juga menuntut peran serta aktif orang tua murid. Banyak cerita bagaimana anak merasa stres karena diajar oleh orang tuanya sendiri yang dianggap lebih galak daripada guru. Dan tidak sedikit pula orang tua yang mengeluh dan stres karena harus menjadi guru buat sang anak.

Pembelajaran daring juga banyak mengalami kendala, mulai dari kepemilikan (gadget), sinyal internet, kesiapan materi, waktu dan fokus belajar saat di rumah tanpa ada pengawasan langsung dari guru. Kepemilikan telepon seluler (gadget) menjadi masalah karena akses terhadap telepon seluler digunakan untuk mengakses Internet saat pembelajaran daring. Berdasarkan data Susenas 2020, penduduk lima tahun keatas yang memiliki telepon seluler sekitar 62,84% artinya masih terdapat 37,16% yang tidak memiliki telepon seluler. Mayoritas penduduk lima tahun keatas mengakses internet menggunakan telepon seluler (98,31%), sehingga siswa yang tidak memiliki telepon seluler akan mengalami kesulitan melaksanakan pembelajaran daring.

Kendala berikutnya adalah sinyal internet. Sinyal internet sangat mempengaruhi kelancaran proses pembelajaran daring. Berdasarkan data Potensi Desa (PODES) 2018 tentang keberadaan sinyal telepon seluler, masih terdapat 9,53% (6961 desa) yang tidak terdapat sinyal, 13,29% (9711 desa) dengan sinyal 2G, 46,26% (33800 desa) dengan sinyal 3G, dan baru sekitar 30,93% (22600 desa) dengan sinyal 4G. Perlu diketahui bahwa sinyal telepon seluler generasi ketiga (3G) keatas yang bisa digunakan untuk mengakses Internet, sehingga baru sekitar 77% desa yang mempunyai kemampuan mengakses Internet. Hal ini sangat memengaruhi kecepatan Internet dan pada akhirnya mempengaruhi kelancaran pembelajaran daring.

Kemampuan untuk mengakses internet yang diwujudkan dengan kemampuan finansial untuk membeli pulsa juga mempengaruhi kelancaran pembelajaran daring. Pada awal pembelajaran daring, banyak keluhan tentang bertambahnya pengeluaran rumah tangga untuk membeli pulsa/kuota Internet. Namun hal ini ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan disalurkannya bantuan kuota belajar untuk peserta didik maupun pendidik melalui Peraturan Sekjen Kemendikbud No.14/2020 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Kuota Data Internet Tahun 2020. Hal ini perlu diapresiasi karena membantu kelancaran pembelajaran daring.

Selain ketiga hal tersebut, guru merupakan kunci utama proses belajar mengajar. Dengan pembelajaran daring, setiap guru seolah-olah memberikan pengajaran secara privat kepada murid karena penggunaan Zoom Meeting, Google Room dan aplikasi lainnya. Dengan pembelajaran daring, pelajaran yang terkenal sulit seperti matematika, fisika, kimia, mungkin akan terasa menjadi lebih sulit untuk dipahami.

Permasalahan ibu

Ibu adalah sosok sentral dalam sebuah keluarga. Mendidik anak adalah salah satu dari peranan ibu dalam keluarga yang memegang peranan krusial. Pembelajaran daring memaksa seorang ibu untuk mendampingi anak secara penuh dan menggantikan peran guru, terutama untuk jenjang pendidikan anak usia dini dan sekolah dasar.

Ibu akan menghadapi beberapa masalah dengan diberlakukannya pembelajaran daring. Masalah pertama dihadapi ibu jika kapasitas pendidikan ibu tidak cukup untuk mengimbangi tuntutan materi pembelajaran anak. Data Susenas 2020, sebagian besar perempuan di Indonesia adalah lulusan SD ke bawah (42,15%).

Sedangkan yang memiliki ijazah SMP sebesar 21, 65%, SMA/SMK 26,32%, dan hanya 9,88% yang berijazah diploma keatas. Dengan tingkat pendidikan mayoritas SD kebawah, maka para ibu akan kesulitan memberikan tambahan penjelasan bagi anak terhadap materi pembelajaran yang disampaikan secara daring.

Akibatnya anak akan stres karena diajar oleh orang tua yang notabene bukan guru, ibu pun stres karena tidak mampu mengajarkan materi dengan baik. Pada akhirnya anak tidak mampu memahami materi dengan baik dan pendidikan anak tidak bisa maksimal.

Masalah kedua terjadi jika ibu berstatus sebagai ibu bekerja. Dari data Sakernas Agustus 2020, terdapat 49,69% wanita berusia 15 tahun keatas yang bekerja dan sebagian diantaranya berstatus ibu. Jika ibu bekerja, maka ibu tidak bisa maksimal melakukan pendampingan anak belajar daring karena harus bisa membagi waktu antara bekerja dan mendampingi anak.

Harapan Kualitas Pendidikan

Sampai saat ini, pandemi Covid-19 belum bisa diketahui kapan akan berakhir. Bahkan di Indonesia kasus Covid-19 sudah menyentuh angka 1,5 juta kasus. Meskipun tren nya sudah mulai menurun sejak adanya program vaksinasi Covid-19, namun butuh waktu agar semua penduduk Indonesia tervaksinasi. Oleh karena pembelajaran tatap muka belum dapat dipastikan kapan dimulai, maka permasalahan-permasalahan yang muncul dari sistem pembelajaran daring harus secepatnya dicarikan jalan keluar agar tidak memengaruhi kualitas pendidikan anak.

Pada Hari Pendidikan Nasional 2021, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengusung tema "Serentak Bergerak, Wujudkan Merdeka Belajar". Walau tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tapi esensi atau makna pendidikan harus tetap sama. Pendidikan adalah modal bangsa untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa.

Kualitas pendidikan tentu tidak bisa dipertaruhkan karena pandemi, meskipun kesehatan adalah prasyarat utama terselenggaranya pendidikan yang baik. Kualitas pendidikan menentukan masa depan anak. Tidak hanya penting bagi kedua orang tua, masa depan anak juga menentukan masa depan bangsa. Sampai waktu yang belum bisa ditentukan, pembelajaran daring akan tetap dilakukan selama pandemi. Karena itu perlu ditemukan metode yang tepat untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar selama masa pandemi Covid-19 ini. Dalam jangka panjang, pemerintah juga perlu meningkatkan kapasitas pendidikan orangtua sehingga mampu menggantikan peran guru ketika di rumah demi masa depan anak dan bangsa.(*)


Rabu, 28 April 2021

Maraknya Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Bawah Umur

Ira
Oleh:  Miftahul Khairah
     
                                Mahasiswa Universitas Islam Negeri Mataram, Jurusan PIAUD


Kekerasan
seksual merupakan pelecehan yang dilakukan seseorang kepada orang lain, dimana korban sangat tidak menginginkan hal tersebut terjadi. Pelecehan seksual merupakan perbuatan  yang melecehkan orang lain, baik dia anak perempuan maupun anak laki-laki dengan cara memeluk, mencium, memegang bagian anggota tubuh yang dianggap tidak pantas atau tabu.  

Kekerasan seksual terhadap anak  belakangan ini masih marak diberitakan di berbagai media massa. Tragisnya, korban kebanyakan anak-anak di bawah umur. Padahal dampak yang ditimbulkan bagi anak sebagai korban sangat berat, karena dapat memunculkan trauma panjang  yang akan mempengaruhi perkembangan mental anak.

Trauma akibat kekerasan seksual pada anak sulit dihilangkan, jika tidak secepatnya ditangani oleh ahlinya.  Anak korban kekerasan seksual akan mengalami trauma jangka pendek dan trauma jangka panjang. 

Untuk jangka pendek, sering  mengalami mimpi buruk, ketakutan yang berlebihan kepada orang lain, dan konsentrasi menurun  sehingga berdampak terhadap kesehatan. Sedangkan jangka panjangnya,  ketika dewasa nanti akan mengalami fobia.

Secara fisik mungkin tidak ada dampak, tapi secara psikis bisa menimbulkan ketagihan, trauma, pelampiasan dendam, jika tidak ditangani serius. Kekerasan seksual terhadap anak dapat menimbulkan dampak sosial yang luas di masyarakat.

Pelecahan seksual bisa terjadi pada siapa saja, tanpa melihat jenis kelamin, status sosial, usia dan lain-lain. Tindakan kekerasan dan pelecehan seksual biasanya dilakukan orang-orang terdekat dengan korban. Seperti kerabat, tetangga, bahkan seorang ayah yang semestinya menjadi pelindung dan pengayom bagi anak.

Karena itu penanganan dan penyembuhan trauma psikis akibat kekerasan seksual harus mendapat perhatian dari semua pihak, baik  dari keluarga, masyarakat maupun negara. Terutama memberikan perlindungan terhadap anak terhadap sistem peradilan, yang memberikan efek jera bagi pelaku.

Seperti kejadian di Kota Bima beberapa waktu lalu, pelaku yang diduga memperkosa dan membunuh siswa SD divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Raba Bima. Vonis mati itu pertamakali di putuskan Pengadilan Negeri Bima.

Harapannya, dengan hukuman maksimal itu akan memberi efek jera bagi pelaku kejahatan seksual, terutama terhadap anak-anak yang harus dilindungi masa depannya. Sebagai generasi penerus yang akan mewariskan bangsa ini ke depan. (*)

   

 

 

 

Senin, 19 April 2021

Kekeliruan Pola Asuh Antara Orang Tua dan Masyarakat Zaman Now

Rini Susanti

Oleh: Rini susanti

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD), Fakukultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram.

 

Pola asuh anak dimana proses yang berkelanjutan secara terus menerus untuk mendukung perkembangan fisik, emosional, sosial financial, dan intelektual anak. Proses itu dilakukan sejak bayi hingga dewasa. Orang tua dan lingkungannya merupakan pengalamman pertama anak untuk mendapatkan banyak hal.

 Pola asuh juga berpengaruh pada bagaimana lingkungan menanamkan cara pengasuhan yang benar pada anak, karena pola pengasuhan yang efektif  akan berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak.

Berbicara mengenai pola asuh, banyak orang tua keliru dalam mengasuh anak.  Menggunakan kekerasan, memukul, mencela, mengatai anak-anak dengan kalimat yang buruk, kondisi seperti itu msih terjadi dilingkungan masyarakat yang belum faham dengan cara mengasuh anak yang benar.

Masih sering ditemukan, seorang ibu memukul dan mengumpat lantaran anak sering minta uang jajan, atau anaknya mandi sungai, tidak makan dan lain-lain. Kesalahan sepele yang dilakukan membuat orang tua sampai mengeluarkan kalimat umpatan bahkan memukul. Kendati orang tua beralasan itu sebagai bentuk kasih sayang terhadap anak. Apapun alasannya, jelas itu merupakan kekeliruan terhadap pola pengasuhan zaman now.  

Pola asuh anak yang benar adalah pola asuh yang positif seperti membangun komunikasi yang efektif. Ada beberapa yang harus diketahui oleh orang tua melalui berkomunikasi yang efektif dan positif untuk mengedukasi anak. Misalnya menghindari kata tidak atau jangan, atau mengatakan kepada anak kamu malas, kamu anak nakal. Terutama  pada anak yang usianya masih di bawah sembilan tahun. Karena anak seusia itu lebih peka terhadap kalimat-kalimat aktif daripada kalimat pasif dan kalimat negative (kata tidak dan jangan).

 Orang tua harus membiasakan memberikan apresiasi, dukungan jika anak melakukan sesuatu yang positif. Tidak mengeluarkan kata-kata yang membuat anak merasa tidak nyaman, dan tidak percaya diri.

Selain orang tua, pola asuh masyarakat negative sangat bepengaruh pada pola pengasuhan positif anak. Pola asuh negative sudah menjadi kebiasakaan dikalangan masyarakat yang minim akan pengetahuan. Hampir 80% Anak-anak sudah terbiasa dengan pola asuh  negative. 

Contoh sederhana, memanggil namanya dengan nada tinggi, menyebut nama anak  dengan kalimat celaan, membandingkan dengan anak yang lain dan lain sebagainya. Perlu diperbaiki pola asuh negative, supaya tidak merusak perkembangan fisik, emosional, sosial financial, dan intelektual anak.

“Orang tua hebat, mampu memberikan pola asuh yang positif bagi anak-anaknya”.     

 

 

Minggu, 04 April 2021

Perempuan dan Belenggu Kemiskinan

Triana
Oleh : Triana Pujilestari, S.Si, M.SE (ASN BPS Kota Bima)
 

Memasuki bulan April kita sering diingatkan kembali dengan perjuangan seorang sosok RA Kartini dalam merintis kesetaraan gender dan emansipasi perempuan. Isu kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai bentuk perlawanan dan tuntutan dari kaum perempuan. Peningkatan kualitas perempuan dari segi pendidikan, kesehatan, maupun secara ekonomi juga harus menjadi sebuah keharusan. Hal ini karena kondisi ideal tidak selamanya dapat dinikmati oleh perempuan.

Sumber: Google
 

Tidak dapat dipungkiri bahwa ada 13,9 persen perempuan Indonesia berstatus sebagai kepala rumah tangga yang disebabkan oleh perceraian maupun kematian pasangannya. Bahkan dari seluruh rumah tangga miskin, ada sebanyak 15,88 persen rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan. Kondisi inilah yang memaksa perempuan untuk bergerak guna memenuhi kebutuhan sosial ekonomi keluarganya.

 

Memang tidak semua perempuan harus keluar rumah untuk memasuki lapangan usaha formal. Tidak perlu juga membenturkan peran domestik perempuan dalam keluarga dengan perannya di luar rumah. Karena ada peran perempuan yang memang tidak bisa diwakilkan dalam keluarga. Ada tanggungjawab perempuan dalam mengasuh dan mendidik anaknya sebagai generasi penerus bangsa.

 

Bagaimanapun juga, generasi produktif di era bonus demografi akan membutuhkan sentuhan tangan perempuan dalam proses pendidikan karakter yang unggul. Tentu semua menginginkan generasi penerus bangsa ini tidak hanya produktif secara ekonomi namun juga memiliki karakter dan nilai moral yang luhur. Proses pembentukan tersebut lebih banyak ada di dalam keluarga sebagai pondasi pertama dan utama dalam kehidupan bernegara.

 

Saat ini justru yang harus didorong adalah penciptaan usaha informal bagi perempuan. Hal ini dimaksudkan agar perempuan dapat aktif secara ekonomi meski sudah memasuki gerbang pernikahan. Penulis buku Sustainable Impact, How Women Key to Ending Poverty, Laina Grenee, menyebutkan perempuan yang berjiwa enterprenuer memiliki peran besar untuk mengentaskan kemiskinan keluarganya. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan data Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan masih 53 persen, lebih rendah jika dibandingkan TPAK laki-laki yaitu sebesar 82 persen.

 

Bagi perempuan kelas menengah atas yang melek teknologi, bekerja dari rumah merupakan pilihan yang banyak dinikmati. Apalagi ditengah pandemi seperti sekarang ini. Terlebih di era teknologi informasi yang semakin canggih sekarang banyak peluang pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah. Menjadi seorang pedagang online, blogger, programmer, desainer logo hingga menawarkan aneka jasa yang mampu meningkatkan penghasilan perempuan.

 

Perempuan kelas menengah atas lebih mudah masuk sektor usaha formal maupun informal, hal ini karena tingkat pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Namun bagaimana dengan perempuan dari kelas bawah yang pendidikan serta keterampilannya terbatas? Tidak terkecuali bagi perempuan dari keluarga miskin di Indonesia.

 

Perempuan secara fitrahnya mengandung, melahirkan, dan mengasuh anak. Mereka cenderung menjadi yang terakhir makan dan secara rutin terjebak dalam tugas domestik yang memakan waktu dan tidak dibayar. Kondisi inilah yang menjadikan perempuan merupakan pihak yang paling rentan dalam semua dimensi kemiskinan. Terlebih jika kondisi ideal dalam keluarga ternyata jauh panggang dari api.

 

Ibarat menggarami lautan, apalah arti berbagai program pemberdayaan perempuan jika rendahnya kapabilitas menjadikannya tidak mampu melemparkan kail yang telah disediakan pemerintah. Peningkatan kapabilitas ini menjadi sebuah syarat bagi perempuan untuk keluar dari ketidakberdayaannya. Peningkatan kapabilitas ini bisa dilakukan dengan meningkatkan kualitas kesehatan dan pendidikan perempuan.

 

Hal ini bukan tanpa suatu alasan, mengingat tingkat kemiskinan di Indonesia masih stagnan pada angka 9 persen dalam tiga tahun terakhir. Seolah berbagai upaya pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan pemerintah tidak berpengaruh besar dalam menurunkan angka kemiskinan. Ditambah lagi dengan adanya bencana global, pandemi Covid-19, yang menghantam pertumbuhan ekonomi nasional telah meningkatkan jumlah penduduk miskin, sebagaimana yang terjadi pada Bulan Maret 2020.

 

Mungkin ada satu yang kurang dalam upaya pengentasan kemiskinan tersebut yaitu pada keterlibatan perempuan. Perempuan berperan besar dalam alokasi pengeluaran rumah tangga miskin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika Latin, bantuan tunai yang disalurkan kepada perempuan telah terbukti meningkatkan alokasi pengeluaran untuk anak-anak dan berpotensi mengurangi pengeluaran untuk alkohol dan tembakau.

 

Bagi Indonesia ini bisa menjadi sebuah pelajaran, mengingat pengeluaran rokok pada keluarga miskin masih menempati urutan kedua terbesar setelah beras. Pengeluaran untuk rokok penduduk miskin di pedesaan mencapai 14,35 persen atau jauh melampaui pengeluaran untuk sumber protein sederhana seperti telur dan tempe. Dan bukan rahasia umum jika konsumsi rokok akan menurunkan kualitas kesehatan yang berakibat pada penurunan produktifitas secara ekonomi.

 

Oleh karena itu, apapun bentuk bantuannya yang sifatnya tunai, bisa disalurkan kepada perempuan. Contoh program sosial yang penyalurannya sudah melalui perempuan adalah Program Keluarga Harapan (PKH). Sebuah langkah yang tepat jika mulai tahun 2018 pemerintah menambah jumlah penerima manfaat PKH hingga 10 juta keluarga, dengan alokasi anggaran sebesar 37,4 trilyun rupiah.

 

Pengalihan lebih banyak sumber daya kepada perempuan akan meningkatkan derajat kapabilitas perempuan dan anak-anak di keluarga miskin. Dengan meningkatnya pengetahuan dan kesehatan perempuan, diharapkan mampu membawa keluarga miskin keluar dari kemiskinannya. Demikian juga dengan kualitas kesehatan dan pendidikan yang semakin baik, harapannya anak-anak dari keluarga miskin ini kelak tidak mewarisi kemiskinan orang tuanya. Yang perlu diingat adalah investasi pada perempuan akan berdampak besar karena merupakan investasi masa depan dan signifikan guna mengakhiri kemiskinan. Semoga!


Ad Placement

Kota Bima

Bima

Dompu