|
Oleh: Darwis SP |
Hampir seluruh petani di
Nusa Tenggara Barat (NTB) mengeluhkan ketersedian pupuk subsidi, demikian juga
petani lain di Indonesia. Hal ini akibat dari terbitnya Permentan Nomor 49
Tahun 2020 tentang pedoman Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk pupuk bersubsidi tahun anggaran 2021. Dalam
Permentan tersebut, HET pupuk naik Rp 300 hingga Rp 450 per kg.
Direktur Jenderal
Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Sarwo Edhy membeberkan, sebab
utama kenaikan HET pupuk
subsidi ini. "Dasarnya adalah adanya penurunan anggaran 2021
sebanyak lebih kurang Rp 4,6 triliun," papar Sarwo Edhy dalam Rapat Dengar
Pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR RI, Senin (18/1/2021).
Anggaran subsidi pupuk
tahun 2021 sebesar Rp 25,28 triliun (pagu indikatif). Berdasarkan realisasi
penyaluran pupuk bersubsidi tahun 2014-2018, anggarannya mencapai Rp 32,584
triliun dan pada tahun 2020 sebesar 29,7 triliun.
Dampak dari pengurangan
subsidi pupuk ini menyebabkan petani mengurangi penggunaan pupuk. Kebiasaan
petani menggunakan pupuk selama ini perlu diperbaiki. Penggunaan pupuk secara
berimbang perlu menjadi perhatian kita bersama.
Pupuk berimbang adalah
suatu cara pemberian pupuk makro (Nitrogen,Phospor, Kalium, Sulfur) yang
seimbang yang sesuai dengan kebutuhan tanaman dan kandungan hara tanah, dengan
tetap memperhatikan pemberian unsur hara mikro yang lain.
Untuk kebutuhan pupuk yang
mengandung unsur makro N, P, K, S dapat diambil dari pupuk kimia, sedangkan
unsur hara mikro dapat diambil dari pupuk organik/kandang.
Pemupukan berimbang yaitu
pemberian berbagai unsur hara dalam bentuk pupuk untuk memenuhi kekurangan hara
yang dibutuhkan tanaman berdasarkan tingkat hasil yang ingin dicapai dan hara
yang tersedia dalam tanah.
Efisiensi Pemupukan
Padi sawah merupakan
konsumen pupuk tersebar di Indonesia. Efisiensi pemupukan tidak hanya berperan penting dalam meningkatkan
pendapatan petani, tetapi juga terkait dengan keberlanjutan sistem produksi
(sutainable produvtion system), kelestarian lingkungan, dan penghematan
sumberdaya energi.
Kebutuhan dan efisiensi
pemupukan ditentukan oleh tiga faktor yang saling berkaitan yaitu : (a)
ketersediaan hara dalam tanah, termasuk pasokan melalui air irigasi dan sumber
lainnya, (b) kebutuhan hara tanaman, dan (c) target hasil yang ingin dicapai. Oleh sebab itu, rekomendasi
pemupukan harus bersifat spesifik lokasi dan spesifik varietas.
Rekomendasi Pemupukan
Sebenarnya banyak cara dan
metode yang dapat digunakan dalam menentukan rekomendasi pemupukan N, P, dan K.
Badan Litbang Pertanian bekerja sama dengan berbagai lembaga internasional dan
nasional seperti International Rice Research Institute (IRRI), Lembaga Pupuk
Indonesia, dan produsen pupuk telah menghasilkan dan mengembangkan beberapa
metode dan alat bantu peningkatan efisiensi pemupukan N, P, dan K untuk tanaman
padi sawah, antara lain Bagan Warna Daun (BWD) untuk pemupukan N, Petak Omisi
dan Paddy Soil Test Kit (Perangkat Uji Tanah Sawah, PUTS) untuk pemupukan P dan
K.
Permasalahan
Rekomendasi pemupukan
untuk tanaman padi sawah yang tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian No.
01/Kpts/SR.130/1/2006 tanggal 3 januari 2006 tentang Rekomendasi Pemupukan N,
P, dan K pada Sawah Spesifik Lokasi belum mencakup seluruh kecamatan yang ada
sebagai akibat dari pemekaran, belum mempertimbangkan tingkat produktivitas
lahan yang terbaru, dan teknologi usahatani. Akibatnya di beberapa tempat
dijumpai bahwa takaran pupuk yang direkomendasikan terlalu rendah, sebaliknya
di tempat lain justru terlalu tinggi, khususnya Nitrogen.
Pemupukan berimbang yang
didasari oleh konsep “pengelolaan hara spesifik lokasi” (PHSL) adalah salah
satu konsep penetapan rekomendasi pemupukan.
Dalam hal ini, pupuk diberikan pupuk diberikan
untuk mencapai tingkat ketersediaan hara yang esensial yang seimbang di dalam
tanah dan optimum guna : (a) meningkatkan produktivitas dan mutu hasil tanaman,
(b) meningkatkan efisiensi pemupukan, (c) meningkatkan kesuburan tanah, dan (d)
menghindari pencemaran lingkungan.
Masih terdapat keragaman
pemahaman di kalangan pemerintah, produsen pupuk, dan petani dalam
mengimplementasikan konsep pemupukan berimbang. Sebagian kalangan mengartikan bahwa pemupukan
berimbang identik dengan penggunaan pupuk majemuk.
Pada lokasi tertentu
penggunaan pupuk majemuk dapat sesuai dengan pemupukan berimbang, tetapi di
lokasi lain penggunaan pupuk majemuk justru menyebabkan pemborosan karena
formulasi hara yang terkandung dalam pupuk majemuk tersebut tidak sesuai dengan
yang dibutuhkan tanaman.
Analisis Pemecahan Masalah
Agar pemupukan dapat
efisien dan produksi optimal, rekomendasi pemupukan harus didasarkan pada
kebutuhan hara tanaman, cadangan hara yang ada di dalam tanah, dan target hasil
realistis yang ingin dicapai. Kebutuhan hara tanaman sangat beragam atau
spesifik lokasi dan dinamis yang ditentukan oleh berbagai faktor genetik dan
lingkungan.
Rekomendasi Pupuk N
Alat yang dapat digunakan
secara mandiri oleh penyuluh dari mantri tani untuk membantu petani dalam
menentukan takaran pupuk N secara lebih spesifik lokasi (perhamparan, bahkan
dapat sampai per petak sawah).
Alat tersebut adalah Bagan
Warna Daun (BWD) untuk penentuan takaran pupuk N, PUTS (Perangkat Uji Tanah
Sawah) atau Pendekatan Petak Omisi untuk menentukan takaran pupukP dan K.
Rekomendasi pemupukan
didasarkan pada tingkat produktivitas padi sawah. Pada tingkat produktivitas
rendah (<5t/ha) dibutuhkan urea 200 kg/ha. Pada tingkat produktivitas sedang
(5-6 t/ha) dibutuhkan urea 250-300 kg/ha. Sedangkan pada tingkat produktivitas
tinggi (>6 t/ha) dibutuhkan urea 300-400 kg/ha.
Pada daerah yang memiliki
data produktivitas padi dengan perlakuan tanpa pemupukan N, kebutuhan pupuk
urea dapat dihitung sebagai berikut Misalnya, apabila tanaman padi di suatu
lokasi menghasilkan gabah sebanyak 3 t/ha tanpa pemupukan N, sedangkan target
hasil adalah 6 t/ha, maka tambahan pupuk urea yang diperlukan adalah sekitar
325 kg tanpa penggunaan BWD dan 250 kg dengan BWD.
Pada tanah dengan pH
tinggi (>7), seperti Vertisols di Jawa Tengah bagian timur, Jawa Timur,
Bali, NTB, dan NTT diperlukan penambahan pupuk ZA sebanyak 100 kg/ha untuk
meningkatkan ketersediaan hara S. Dengan penambahan ZA, takaran urea dapat
dikurangi sebanyak 50 kg/ha.
Bagan warna daun
memberikan rekomendasi penggunaan pupuk N berdasarkan tingkat kehijauan warna
daun yang mencerminkan kadar klorofil daun. Makin pucatwarna daun, makin rendah
skala BWD, yang berarti makin ketersediaan N di tanah dan makin banyak pupuk N
yang perlu diberikan.
Rekomendasi berdasarkan
BWD memberikan jumlah dan waktu pemberian pupuk N yang diperlukan tanaman. Hal
itu bisa dilihat pada BWD
Rekomendasi Pupuk P dan K
Peta Status Hara P dan K
Tanah Sawah skala 1:250.000 yang telah dibuat untuk 21 provinsi berguna sebagai
arahan kebutuhan dan distribusi pupuk P dan K tingkat nasional. Sedangkan
penetapan rekomendasi pupuk P dan K di lapangan seyogyanya didasarkan pada peta
skala 1:50.000 dimana satu contoh yang dianalisis mewakili areal sekitar 25 ha,
setara dengan satu hamparan pengelolaan kelompok tani.
Namun demikian, peta skala
operasional ini baru tersedia untuk delapan kabupaten di jalur pantura Jawa,
Bali, Sumatera Utara, Lombok dan sebagian pulau Sumbawa.
Rekomendasi P dan
K per kecamatan disusun dengan cara menumpangtindihkan Peta status Hara P dan K
skla 1 :50.000 atau 1:250.000 dengan batas adminstratif kecamatan. Oleh karena
itu, data rekomendasi pemupukan P dan K untuk setiap kecamatan kemungkinan
belum sesuai dengan kondisidi lapangan karena dalam skla 1:250.000 setiap
contoh tanah mewakili areal pesawahan sekitar 625 ha.
Dengan demikian,
rekomendasi pemupukan P dan K yang lebih tepat perlu menggunakan PUTS atau
pendekatan Petak omisi.
Perangkat Uji Tanah
Sawah merupakan suatu perangkat untuk
mengukur pH dan status hara P dan K tanah yang dapat dikerjakan secara langsung
di lapangan dengan relatif cepat, mudah, dan murah dan alat ini sudah tersedia
di BPP.
Petak Omisi (Omissiopn
Plot) dapat digunakan untuk menentukan takaran pupuk P dan K spesifik lokasi.
Kedua metode ini bisa dilakukan oleh PPL dan petani di lapangan.
Penggunaan Pupuk Organik
Penggunaan bahan organik,
baik berupa kompos dari jerami padi maupun pupukandang, sangat besar
peranannya dalam meningkatkan efisiensi pemupukan. Karena itu, rekomendasi
pemupukan disusun berdasarkan ada tidaknya pemberian kompos dari jerami atau
pupuk kandang, sehingga rekomendasi pemupukan N, P, dan K per hektar dibagi
atas : (1) takaran tanpa bahan organik, (2) takaran dengan penggunaankompos
jerami setara 5 ton jerami segar, dan (3) takaran dengan penggunaan 2 ton pupuk
kandang. (*)