Temuan BPK Rp 8,4 M pada Proyek Masjid Agung Bima Dinilai Prematur - Bima News

Sabtu, 04 Juni 2022

Temuan BPK Rp 8,4 M pada Proyek Masjid Agung Bima Dinilai Prematur

BPK
Ilustrasi
 

BimaNews.id, BIMA-Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) NTB terkait pembangunan Masjid Agung Bima menuai polemik.

Ada perbedaan pemahaman soal wajib atau tidak penyedia jasa membayar Pajak Penambahan Nilai (PPN).  Denda dan sisa volume pekerjaan, justru mematik anggapan tiga item temuan tersebut  masih dini alias prematur.

Berdasarkan rincian LHP BPK NTB terhadap realisasi APBD Kabupaten Bima tahun anggaran 2021, ada tiga item yang ditemukan berpotensi terjadi kerugian daerah.

Yakni, temuan berupa Denda Keterlambat Belum Dibayar       Rp 832.075.708 juta. Kekurangan Volume Pekerjaan Konstruksi Rp 497.481.748 juta dan Kelebihan Pembayaran PPN Rp 7.092.727.273 miliar. Sehingga total temuan BPK NTB Rp 8,4 miliar lebih.

Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek Pembangunan Masjid Agung Bima Syarief H. Ndae menjelaskan, pekerjaan dinyatakan 100 persen setelah diberikan kesempatan 2 kali  sampai dengan 7 Maret 2022. 

"Itu berdasarkan berita acara PHO," jelasnya.

Sedangkan, temuan BPK berdasarkan kontrak awal sampai dengan 17 Desember 2021.

"Temuan BPK tersebut masih ada sisa pekerjaan yang belum selesai. Sisa pekerjaan itulah yang dijadikan temuan," jelasnya.

Soal sisa volume pekerjaan jelasnya, pada item pekerjaan kubah masjid, semula menggunakan beton menual. Namun pada tahap pelaksanaan menggunakan jenis beton GRC dengan harga satuan yang lebih mahal.

"Tapi hal tersebut tidak masuk dalam addendum kontrak. Bila dimasukan dalam addendum, akan berubah nilai kontraknya karena beton GRC harganya lebih mahal. Maka diputuskan dalam Berita acara rapat bersama APIP," tuturnya.

Kesimpulan penggunaan jenis beton GRC disepakati bersama penyedia jasa dengan komitmen tidak ada penambahan anggaran.

"Perubahan penggunaan jenis beton itu juga berkaitan alasan teknis dari segi keamanan, kerapian dan estetika," bebernya.

Selain itu, pada saat pemeriksaan oleh BPK per 17 Desember 2021 belum dipasang WC, lampu dan aksesoris lain karena faktor keamanan.

"Soalnya barang sering hilang," sebutnya.

Kaitan dengan denda, diakui memang menjadi risiko penyedia jasa apabila terlambat menyelesaikan pekerjaan. Sehingga dikenai denda dengan hitungan menggunakan rumus 1/1000×80 hari keterlambatan × sisa pekerjaan.

"Soal PPN, saat ini sedang dalam proses. Semoga uangnya cepat dikembalikan," harapnya.

Kenapa retensi 5 persen dari nilai kontrak dibayar lunas padahal pekerjaan belum selesai?  Hal itu kata Syarif sesuai aturan baku.  Dana retensi dibayarkan bila penyedia ada jaminan pemeliharaan.

"Sedangkan LHP BPK baru keluar sekarang sementara pekerjaan sudah selesai 100 persen pada 7 Maret 2022," ujarnya.

Mengapa termin terakhir bisa cair sementara uang denda belum dibayar oleh penyedia? Syarief mempersilakan wartawan untuk klarifikasi pada penyedia jasa.

"Denda wajib dibayarkan atau silakan gunakan hak untuk klarifikasi dari penyedia," sarannya.

Menyoal amanat peraturan tentang pengadaan barang dan jasa kaitan sisa termin menjadi hangus disebabkan pekerjaan telat dari masa kontrak. Dia mengaku LHP BPK NTB baru diterima pihaknya 5 hari lalu.

"Pemeriksaan BPK pakai kontrak awal," tampilnya. (fir)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda