Kerasnya Kehidupan, Sekeras Batu yang Dipecahkan Menjadi Kerikil - Bima News

Jumat, 26 Maret 2021

Kerasnya Kehidupan, Sekeras Batu yang Dipecahkan Menjadi Kerikil

Pemecah Batu
Arsad dan Mustamin pemecah batu di Danatraha bersama isteri.
 

BimaNews.id,KOTA BIMA-Usianya sudah tidak muda. Namun Arsyad, 68 tahun ini harus  bekerja keras, membanting tulang, agar asap di dapur tetap mengepul.

Pria asal Kelurahan Sambinae Kecamatan Mpunda Kota Bima merupakan satu dari sekian warga yang bekerja sebagai pemecah batu di sekitar kawasan Danatraha.

Mereka harus bergelut dengan kerasnya kehidupan. Sekeras batu yang mereka pecahkan, agar bisa mendapatkan uang.

Arsyad sudah sekitar lima tahun menjalani pekerjaan sebagai pemecah batu. Pagi-pagi buta ditemani isterinya, dia jalan kaki dari rumahnya di Sambinae ke Danatraha. Dengan jarak sekitar 1,5 kilometer.

Itupun, mereka tidak melewati jalan besar, tapi jalan pintas. Melalui area persawahan dan kebun.  Sehingga tidak keluar uang untuk sewa ojek atau angkutan lain.

Begitu sampai di lokasi, Arsyad harus naik ke bukit. Mengumpulkan bongkahan batu kemudian dibawa ke tenda di pingir jalan untuk dipecahkan dengan palu menjadi ukuran kecil-kecil.

Karena usia, setiap hari bersama istri, Arsad hanya mampu memecah batu menjadi kerikil paling banyak sekitar 1 gerobak. Untuk mencapai 1 mobil truk, butuh waktu sekitar satu bulan.

Sebagian besar kerikil kata dia dibeli oleh kontraktor untuk kebutuhan proyek. Termasuk warga yang secara pribadi untuk keperluan pembangunan rumah dan lain-lain.

"Untuk kerikil ukuran besar kami jual seharga Rp 800 ribu per truk.  Ukuran kecil Rp 1 juta," sebutnya saat disambangi wartawan ini,  Kamis (25/3).

Pandemi Covid-19 memberi dampak luar biasa bagi para pemecah batu. Satu tahun terakhir kata dia, kerikil jarang dibeli.

Arsyad mengaku, harus menunggu 3 hingga 4 bulan baru kerikilnya terjual. Kondisi itu tentu saja membuat ekonomi keluarganya morat-marit. Apalagi tidak ada pemasukan sampingan selain dari menjual kerikil.

Karena itu Arsyad sempat beralih menjadi buruh kapal di pelabuhan Kota Bima. Kalau bertepatan dengan musim panen, menjadi buruh tani. Itupun sifatnya musiman, jika ada warga yang membutuhkan.

"Kalau kerikilnya gak laku, kami kerja  sebagai buruh di pelabuhan. Kalau tidak, mau makan apa," kata bapak lima anak ini.

Pemecah batu lain, Mustamin mengaku pekerjaan itu sebagai pilihan terakhir untuk menopang ekonomi keluarga. Meski penghasilanya tak seberapa, namun hidup harus terus dijalani.

Pria kelahiran 48 tahun silam ini, menyampaikan terimakasih kepada pemilik lahan tempat mereka mengambil batu. Secara sukarela memberi peluang pada dia dan warga lain mengais rezeki.

"Yang punya tanah ini warga keturunan. Kami disuruh cari nafkah di sini, tanpa membayar satu sen pun," kata bapak satu anak ini berterimakasih.

Selama bekerja sebagai pemecah batu, diakui baru satu kali mendapat bantuan dari pemerintah Kota Bima. Bantuan itu berupa peralatan pemecah batu seperti skop, palu dan lain-lain.

Kemudian katanya pernah juga dijanjikan pengadaan alat penggiling batu oleh Wali Kota Bima, HM Lutfi. Itu saat kampanye calon  wali kota beberapa waktu lalu. Namun  janji itu hingga kini belum ditunaikan.

"Kami menunggu saja. Jika direalisasikan, alhamdulillah. Karena perduli terhadap kami," pungkas Mustamin. (jul)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda