Potret Pendidikan di Lereng Tambora (Bagian 1) - Bima News

Rabu, 24 Februari 2021

Potret Pendidikan di Lereng Tambora (Bagian 1)

Ruang Kelas
Suasana belajar siswa sekolah dasar di wilayah terpencil di Lereng Gunung Tambora
 

Ruangan Nyaris Ambruk, Dipakai Belajar Siswa 6 Kelas

Akses pendidikan di pelosok Kabupaten Bima masih luput dari perhatian. Kondisi tersebut terdapat di pemukiman, wilayah transmigrasi lereng Gunung Tambora. Tepatnya, di Dusun Sori Sumba Desa Kananga. Bangunan sekolah yang nyaris ambruk dimakan usia menjadi satu-satunya sarana belajar bagi anak-anak  untuk menggapai impian.

Labuan Kananga, satu desa di bagian barat Kabupaten Bima.  Atau tetapnya, bagian Selatan Kecamatan Tambora yang menghubungkan Kabupaten Bima dan  Dompu.

Labuan Kananga selama ini sering dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara. Sebab,  di desa ini salah satu akses bagi wisatawan untuk ke Pulau Satonda.

Secara geografis, Labuan Kananga sama dengan desa-desa pesisir lainnya di Tambora. Mayoritas, warga setempat berprofesi sebagai nelayan dan petani.  Hanya beberapa yang menjadi ASN.

Meski memiliki kekayaan alam dan hasil laut melimpah, tidak menjamin nasib anak setemmpat bisa mendapatkan fasilitas pendidikan yang memadai. Seperti yang dirasakan anak-anak di wilayah pemukiman transmigrasi di Dusun Sori Sumba, Desa Labuan Kananga.

Siswa setempat belajar di ruang kelas dengan kondisi bangunan yang tak memadai.  Ruangan kelas ini dibangun  tahun 2009 silam, sebagai kelas jauh SDN Sori Sumba. Karena sebelumnya,  anak-anak setempat harus menempuh jarak 3 kilometer dengan jalan kaki untuk ke sekolah induk.

Sekolah yang berada di pelosok ini tidak dilengkapi fasilitas memadai. Hanya ada satu ruang kelas  untuk menampung 30 siswa, mulai dari kelas 1 hingga kelas  6.

Dian Agi Purnama SPd, guru PNS yang baru ditempatkan di SDN Sori Sumba merasa prihatin dengan kondisi belajar siswa di wilayah  pemukiman transmigrasi tersebut. Dengan sarana penunjang  yang  sangat tidak memadai.

"Ini pertama kali saya pergi mengajar ke kelas jauh di pemukiman transmigrasi. Cukup  menantang juga," katanya Via HP beberapa waktu lalu.

Mengajar anak-anak di pemukiman transmigrasi jadi kenangan tak terlupakan. Selain harus melewati jalanan rusak penuh berbatuan, ia juga harus harus star lebih pagi dari rumah.

Setidaknya dibutuhkan tenaga ekstra agar bisa sampai di sekolah tersebut. Mamastikan sepeda motor dalam kondisi baik. Mengingat kondisi jalan hanya bisa dilalui sepeda motor.

"Hanya itu pilihannya. Kalau gak pakai motor, jalan kaki. Mobil sepertinya gak bisa, soalnya jalan rusak parah," kata Dian.

Meski demikian, semangat belajar anak-anak di pemukiman transmigrasi tak pudar. Tanpa dipanggil sekalipun, mereka antusias datang ke sekolah. Walaupun tanpa seragam dan alas kaki.

Belajar di tengah keterbatasan di bawah gedung yang sudah lapuk termakan usia tentu harus ektra hati-hati.  Jendela rusak,  atap bocor dan tembok banyak yang retak.

"Kita sangat khawatir dengan keadaan sekolah, apalagi  saat turun hujan. Karena atap-atap sekolah semakin rapuh dan membahayakan siswa," akunya.

Dia berharap, kondisi ini bisa diperhatikan pemerintah daerah. Setidaknya, semangat anak-anak  untuk menggapai impian didukung dengan sarana belajar yang memadai. (Juwair Saddam/Bersambung)

 

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda