Memutus Rantai Kemiskinan Pada Anak - Bima News

Selasa, 02 Maret 2021

Memutus Rantai Kemiskinan Pada Anak

Triana

Oleh : Triana Pujilestari, S.SI, M.SE (ASN BPS Kota Bima)

 


KONDISI
anak Indonesia saat ini masih banyak yang harus diperhatikan. Selain masalah gizi buruk dan stunting, anak-anak juga belum aman dari masalah eksploitasi dan kekerasan seksual dalam keluarga. Seperti berita yang beberapa hari ini ramai diperbincangkan di media mengenai kasus pencabulan anak dibawah umur di Kabupaten Bima (Bimakini.com, 18/02/2021). Fenomena ini bagaikan fenomena gunung es.

Kenyataan di atas lebih banyak terjadi pada keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Keterbatasan pendidikan dan pendapatan mengakibatkan mereka tidak dapat hidup secara layak dan normal. Di Indonesia tercatat ada sebanyak 25,27 persen rumah tangga miskin yang luas lantai rumahnya kurang dari 8 meter persegi per kapita. Luas rumah yang sempit dengan ruangan yang terbatas membuat tidak ada pemisahan ruang tidur antara orang tua dan anak. Hal ini mengakibatkan tidak adanya privasi antar anak maupun dengan orang tua dalam keluarga.

Dari segi pendidikan, rata-rata lama sekolah kepala rumah tangga miskin hanya 5,86 tahun. Artinya bahwa kepala rumah tangga miskin ini rata-rata tidak tamat sekolah dasar. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kemiskinan orang tuanya terdahulu sehingga tidak mampu menyelesaikan pendidikan dasarnya karena harus membantu mencari penghasilan.

Kehidupan yang keras tanpa disertai dengan asupan nilai-nilai moral telah mengikis rasa kemanusiaan sehingga tega untuk melakukan kekerasan seksual terhadap darah dagingnya sendiri. Sangat disayangkan ketika masa depan dari anak keluarga miskin ini justru dirusak oleh keluarganya. Harapan untuk bisa keluar dari kemiskinan semakin sulit dengan adanya beban tersebut.

Selain itu kemiskinan mengakibatkan kehidupan yang sulit bagi tumbuh kembang anak. Oleh karenanya diperlukan upaya pengentasan kemiskinan sehingga anak-anak dari keluarga miskin ini bisa memperoleh kehidupan yang layak dan mampu berkembang dalam meraih kehidupan yang lebih baik.

Sejauh ini, sudah banyak bantuan sosial yang digelontorkan oleh Pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Namun nyatanya angka kemiskinan juga masih tinggi. Tahun 2020, jumlah penduduk miskin naik 1,28 juta dari 25,14 juta menjadi 26,42 juta. Seberapa kuat dan lama pemerintah akan membantu 26,42 juta penduduk miskin ini? Perlu upaya agar penduduk miskin ini mandiri dan tidak tergantung pada bantuan sosial.

BPS mencatat rata-rata jumlah anggota rumah tangga miskin sebanyak 4-5 orang. Dengan asumsi bahwa terdapat ayah dan ibu, maka jumlah anak dalam satu rumah tangga miskin antara 2-3 orang. Apabila rantai kemiskinan ini tidak diputus maka jumlah penduduk miskin akan semakin banyak karena kemiskinan tersebut akan terus diwariskan kepada anak-anaknya.

Pengentasan kemiskinan di Indonesia tidak hanya berfokus pada penduduk miskin dewasa saja namun juga harus memperhatikan penduduk miskin usia anak-anak. Untuk penduduk dewasa, membuka lapangan pekerjaan dan pemberdayaan ekonomi lebih diutamakan.  Sedangkan untuk anak-anak keluarga miskin, pelayanan kesehatan dan pendidikan lebih dibutuhkan karena sebagai modal untuk keluar dari jeratan kemiskinan.

Program sosial dalam bidang pendidikan dan kesehatan memerlukan data yang valid sehingga kemanfaatannya tepat sasaran. Namun sayangnya, kesadaran penduduk miskin terhadap pengurusan adminitrasi seperti akta kelahiran anak maupun surat pindah domisili bagi perantau di perkotaan juga sangat rendah. Ketidaktertiban dalam hal administrasi ini mengakibatkan keberadaan mereka tidak terjaring dalam aneka program sosial. Di daerah asal secara de facto keberadaannya tidak ada, sedangkan di perantauan atau di perkotaan secara de jure mereka tidak terdaftar. Kondisi demikian semakin menyulitkan pemerintah untuk mengidentifikasi keberadaan penduduk miskin beserta anak-anaknya dalam rangka pengentasan kemiskinan.

Dalam bidang pendidikan, pada kenyataannya masih ada anak-anak usia 7-12 tahun yang tidak bersekolah sebanyak 0,79 persen. Demikian juga dengan anak-anak usia 13-15 tahun ada 4,48 persen dan anak-anak usia 16-18 berjumlah 28,56 persen yang tidak bersekolah. Menunda anak-anak untuk memasuki dunia kerja dan mengembalikan anak-anak kepada bangku sekolah diyakini mampu untuk meningkatkan kesejahteraan di masa mendatang. Program Indonesia Pintar (PIP) yang menjangkau 9,45  persen rumah tangga di Indonesia (Susenas, 2020) perlu diverifikasi kembali untuk memastikan anak-anak miskin tidak ada yang terlewat untuk memproleh bantuan.

Dalam bidang kesehatan, penduduk yang mengalami keluhan kesehatan mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir dari 28,53 persen pada tahun 2015 menjadi 30,96 persen pada tahun 2020. Di sisi lain penduduk yang memiliki jaminan kesehatan baru sebatas 69,29 persen. Masih banyak penduduk Indonesia yang belum memiliki jaminan kesehatan baik dari pemerintah maupun swasta. Oleh karena itu menjaga kesehatan yang sifatnya pencegahan penyakit lebih diutamakan tidak terkecuali pada anak-anak miskin.

Anak-anak dari keluarga miskin sangat rentan terhadap gangguan kesehatan. Selain asupan makanan dan gizi yang kurang, kondisi perumahan dan sanitasi yang kurang memadai juga turut menurunkan kualitas kesehatan anak-anak miskin. Konsumsi gizi yang rendah dikarenakan pengeluaran pada keluarga miskin  lebih banyak dibelanjakan untuk rokok daripada sumber protein seperti telur, tahu, dan tempe. Persentase pengeluaran untuk rokok pada keluarga miskin di perdesaan sebesar 14,35 persen, jauh melampaui pengeluaran untuk sumber protein seperti telur ayam (4,86 persen) dan tempe (1,95 persen). Pola yang sama juga terjadi pada pengeluaran keluarga miskin di perkotaan. Harus ada prioritas pengeluaran dari keluarga miskin untuk meningkatkan derajat kesehatannya. Mengalihkan pengeluaran rokok untuk sumber protein bagi anak-anak akan jauh lebih bermanfaat bagi tumbuh kembangnya.

Selain itu karena keterbatasan pendapatan, anak-anak dari keluarga miskin banyak terpapar oleh makanan murah dengan banyak bahan sintetis. Kondisi ini tentu semakin memberatkan bagi anak-anak miskin untuk memiliki kualitas kesehatan yang baik. Dengan tingkat kesadaran dalam kesehatan yang rendah, diperlukan penyadaran akan pentingnya perilaku hidup sehat dan makanan sehat meski sederhana.

Penyuluhan dan pemberian makanan tambahan pada ibu hamil dan balita keluarga miskin sangat diperlukan, bahkan dengan cara menjemput bola (mendatangi keluarga miskin). Untuk anak usia sekolah, kontrol kesehatan bisa dilakukan di sekolah baik melalui edukasi maupun pemeriksaan kesehatan berkala. Hal ini bisa terealisasi apabila partisipasi sekolah dari anak-anak keluarga miskin mencapai 100 persen.

Berbagai upaya di atas perlu dilakukan secara simultan agar rantai kemiskinan dapat diputus sehingga anak-anak keluarga miskin mampu keluar dari kemiskinannya. Dengan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin dewasa dan memperhatikan pendidikan serta kesehatan anak-anak, diharapkan mampu membawa keluarga miskin semakin mandiri dan meraih kehidupan yang lebih baik. (*)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda