Mengenang Peristiwa Donggo Tahun 1972 - Bima News

Senin, 22 Juni 2020

Mengenang Peristiwa Donggo Tahun 1972


‘’Upaya Menyerap Nilai-nilai  Demokrasi’’









Oleh: Maulana Ikbal, Guru SMAN 4 Kota Bima





Jika bangsa Indonesia
selalu mengenang gerakan Reformasi 1998, sebagai jejak penting perjalanan
bangsa. Gerakan tersebut berhasil menghentikan kekuasaan orde baru yang telah
berkuasa selama 32 tahun. Maka “Dou Mbojo” (orang Bima, NTB) sepatutnya
berbangga, bahwa gerbang pertama, pelopor gerakan reformasi era orde baru
adalah gerakan demonstrasi yang dilakukan subetnik Donggo (Dou Donggo). Peristiwa
tersebut kemudian dikenal “Peristiwa
Donggo 1972”.





Dou Donggo sendiri merupakan
seubetnik dari etnik Mbojo, yang mendiamidaerah pegunungan, dan pesisir sepanjang sisi bagian barat Teluk Bima, Kabupaten
Bima, NTB. Sub etnis Donggo. Kini “Dou Donggo” menyebar di dua wilayah
kecamatan yaitu Donggo dan Soromandi. Selebihnya mendiami beberapa kecamatan di
Kabupaten Dompu, yaitu, Dompu, Manggelewa, dan Juga Kilo.





Namun tulisan ini tidak untuk
mengulas sejarah secara detail. Sudah banyak yang mengulas melalui buku di
antaranya tulisan Drs. H.Mustahid H. Kako, juga H. Gazali Amalanora. Begitupun
puluhan artikel dan jurnal-jurnal penelitian juga turut mengulasnya. Maka dalam
rangka mengenang kembali momen tersebut,  tulisan lebih pada penggalian nilai yang kemudian
dikontekstualisasikan pada nilai-nilai demokrasi masa kini.





Sekilas tentang Peristiwa Donggo 1972





Tanggal 22
juni 1972, tepatnya  48 tahun yang lalu. Di
sebuah daerah pegunungan juga pesisir sebelah barat Teluk Bima, di Kabupaten
Bima NTB, tampak terbelah oleh jejeran ribuan massa berkonvoi. Teriakan komando
dari massa aksi yang berisi slogan-slogan perlawanan menggema. Spanduk-spanduk
membentang berisi berbagai tuntutan ikut memberi warna. Isu yang diangkat tidak
saja terkait dengan kecamatan masyarakat Donggo, namun melingkupi seluruh
Kabupaten Bima. Tuntutan antara lain “turunkan Suharmaji (Bupati)” dan “angkat Putera
Kahir sebagai Bupati Bima”, “selamatkan hutan Jati di Tololai” dan sebagaianya.
Yang membuat gerakan tersebut tampak menegangkan, adalah massa aksi turut
membawa Senjata tradisional sebagai perlengkapan aksi.





Barisan Long
march sepanjang lebih dari 3 kilometer itu seolah membelah daratan pegunungan
Donggo yang menghijau. massa hendak menempuh perjalanan sepanjang hampir 40
kilometer. Kemana Tujuannya? : Pandopo Bupati Bima!. Tempat tersebut yang
berlokasi di  ibukota Kabupaten Bima,
yaitu di Raba (sekarang menjadi Kota BIma).





Massa Aksi dipimpin
oleh 5 tokoh berpengaruh, yakni  Abbas
Oya, BA (Tokoh Intelektual), H.M.Ali 
alias Haji Kako (Tokoh spritual/Kebathinan), M. Ali Taamin (Ale) dan Jamaluddin
H. Yassin, (Tokoh Politik) dan H.A. Madjid Bakri (Tokoh Agama). Massa akhirnya
dihadang di pertengahan perjalanan oleh beberapa perwakilan pemerintah dan DPR
yang dikawal ketat aparat keamanan. Setelah melalui perundingan akhirnya
sepakat massa kembali ke kampung.





Pemerintah  di bawah pimpinan Bupati Bima Letkol.
Soeharmadji  dan DPR siap memenuhi
tuntutan demonstran, asalkan demonstran mau kembali ke tempat asal. Sekembalinya
massa di kampung, situasi sempat stabil, karena masyarakat merasa tuntuan telah
direspon. Namun beberapa hari kemudian, situasi berbalik. Melalui suratnya,
dengan Pongahnya, Bupati Bima menolak melaksanakan semua apa apa yang telah
disepakati dengan demonstran. Akhirnya chaos
pun terjadi. Dimulai dari penangkapan Abbas Oya dkemudian disusul oleh M.Ali
Taamin juga Jamaludiin H. Yasin.  Satu
persatu pimpinan demonstran ditangkap dan di sikisa. Menyusul kemudian H.M.Ali
(H. Kako) dan H. Madjid Bakri.





 Sikap represif aparat yang disertai perlawanan
rakyat tidak terelakkan. Tak terhitung korban harta benda, bahkan nyawa. Rakyat
yang hanya bermodalkan semangat harus berhadapan dengan aparat dengan
persenjataan lengkap.





Donggo saat
itu ibarat daerah perang.  Aparat
keamanan berhasil menguasai tanah Donggo. Suasana begitu mencekam. Sebagian
rakyat harus melarikan diri ke hutan-hutan. Bermodal baju di badan, melawan
dingin menusuk tulang. Tidak peduli lagi harta benda yang ditinggalkan.
Benda-benda pusaka peninggalan leluhur sudah tinggal kenangan. Donggo sungguh
mencekam, layaknya kampung mati. Bermingu-minggu. Penderitaan bertubi-tubi.
Apalagi bagi keluarga yang dianggap sebagai “tokoh penggerak”. Tidak tergambar
suasananya. Setidaknya itulah penggalan kisah yang pernah dituturkan oleh salah
satu pelaku  sejarah H.M. Ali Taamin. Dan
pada puncaknya kelima tokoh yang dianggap penggerak di tangkap dan angkut
menuju penjara di Bali!





Catatan: Peristiwa Donggo
sesungguhnya gerakan rakyat secara kolektif. Begitu banyak tokoh yang ikut
berperan.  Namun konsekwensi terberat
harus diterima oleh ke lima tokoh tersebut di atas, yang di dasarkan fakta
hukum!





Analisis situasi





Apa
keistimewaan peristiwa ini hingga layak diperbincangkan pada konteks kekinian?
Apa sebenarnya pesan dibalik peristiwa Donggo dan relevansinya dengan nilai-nilai
demokrasi hari ini? Sebuah pertanyaan mendasar tentunya. Pertanyaan selanjutnya,
bukankah peristiwa tersebut hanya berskala lokal?  Apakah ada dampak kehidupan bernegara hari
ini?





Sebagaimana
rumusan pertanyaan tersebut, maka Berdasarkan berbagai literature yang juga diperkuat
oleh penuturan pelaku sejarah, maka kita akan menelisik pada beberapa aspek: 1);
Iklim
sosiopolitik
. Bahwa kita sebagai bangsa pernah mengalami masa suram berdemokrasi.
Dimana otoritarianisme orde baru telah mengekang segala bentuk kontrol rakyat pada
penguasa. Lebih dari itu, sikap kritis dianggap duri dalam daging. Perbedaan
pendapat jadi hal tabu. Jika gerakan perlawanan dianggap massif dan merongrong
wibawa pemerintah, maka rakyat harus siap berhadapan dengan negara. Pengadilanpun
sudah siap mengahantam dengan pasal “makar”. Pintu penjarapun sudah menganga.
Bahkan Nyawa tak lagi bernilai.





Namun
demikian, justru rakyat Donggo dengan gagah berani menentang tirani itu
meskipun ancaman ada di depan matanya. Tak peduli lagi apa yang harus
dikorbankan. Harta, bahkan nyawa. Mereka hanya tahu menuntut keadilan dan
kesetaraan. Anti diksrimnasi. Mereka menuntut pemimpin yang amanah. Yang tidak
tulus memimpin layak mundur.





Bisa
dibayangkan betapa efek gerakan begitu luas. Tidak heran media masa turut
meramaikan berita peristiwa ini. Dalam Buku Peristiwa Donggo 1972 (hal. 65), H.
Mustahid mencatat lebih dari sepuluh media cetak dan elektronik nasional maupun
internasional ikut merilis berita peristiwa tersebut termasuk di dalamnya BBC
London dan VOA Amerika.





Bagi
pemerintah saat itu gerakan peristiwa Donggo membawa dampak yang cukup luas,
baik dari sisi politik maupun keamanan. Maka sesegera mungkin harus diatasi.
Karena begitu besar gaung dari peristiwa ini Panglima Kodam Udayana waktu itu
langsung menyambut kedatangan pimpinan demonstran di Bandara Ngurah Rai Bali.





2);Iklim Sosioekonomi. Bisa dibayangkan, pada tahun
1970an, Donggo masih jauh dari kata maju. sarana jalan hanya dari warisan
jepang. Itupun sudah dipersempit oleh rimbunan semak belukar yang akhirnya
tersisa menjadi jalan setapak. Sarana perkantoran pemerintah belum ada. Kehidupan
masyarakatnya masih tampak alami bahkan primitive. Kehidupan ekonomi hanya
bergantung pada bidang pertanian. Aktivitas jual beli mayoritas masih
menggunakan sistem barter (tukar barang/jasa).





 Namun di balik semuanya, terselip
pikiran-pikiran cerdas, yang jauh melampaui masanya. Mereka sadar dengan kemajuan
zaman yang kelak dijalani. Sebagian kecil generasi mudanya sudah ada yang
merantau ke daerah maju (terutama di Jakarta dan sekitarnya) untuk menimba ilmu
dan mencari penghidupan yang lebih layak. Sebagian lagi generasi mudanya sudah
aktif di organisas-organisasi keagamaan, sosial bahkan politik.





Akhirnya,
di tengah kondisi yang serba terbatas bahkan tertinggal, justru menjadi energy
tersendiri dalam memupuk semangat perubahan. Di sisi lain, sinergi yang baik
masyarakat terpelajar dengan yang awam akhirnya menjadi Trigger lahirnya jiwa cerdas dan kritis, sehingga wajar kemudian
berhasil merumuskan sebuah gerakan demokratis, yang akhirnya menjadi atensi
khusus pemerintah saat itu. Catatan: Belum ada catatan daerah
(apalagi daerah tingkat kecamatan) pernah melakukan hal tersebut pada masa-masa
awal orde baru.





3); Iklim Sosiokultural. Sebagai sebuah daerah yang
digadang-gadang sebagai “suku Asli Bima” maka secara kultural Donggo begitu
kuat dalam memegang prinsip-prinsip tradisionalitanya. Meskipun hal ini menjadi
ciri umum dari sebuah entitas budaya. Namun ada beberapa hal yang memang masih
melekat pada masyarakat Donggo. Salah satunya adalah kebersamaan dan sifat
gotong royong. Pada masa itu ikatan emosional dan primordialisme warga Donggo
begitu kuat. Kedekatan kekeluargaan menjadi kekuatan tersendiri dalam menghadapi
masalah. Soliditas dan solidaritas seolah menjadi senjata yang bisa melawan
apapun. Tingkat penghargaan dan penghormatan pada tokoh-tokoh begitu kuat.
Norma adat-istiadat serta agama masih dipegang teguh. Sehingga apapun masalah
yang terjadi dapat diserahkan pada orang yang dianggap mampu mengatasi melalui
musyawarah adat.





Maka dalam konteks ini, sikap
kekeluargaan dan kebersamaan itulah yang kemudian menjadi spirit dalam melawan
segala bentuk intimidasi dan sikap represif negara saat itu. Bahkan menjadi
rujukan generasi muda Donggo hingga kini.





Meskipun aroma Pemilu 1971 masih
terasa, namun perbedaan pilihan saat Pemilu tidak membuat perbedaan sikap pada
saat peristiwa Donggo berlangsung. Mereka bersama untuk isu yang sama. Mereka
sadar tidak ada kepentingan pilitik apapun yang mampu menggugah keyakinan
rakyat Donggo saat itu selain berbicara tentang kesejahteraan, keadilan, dan
menentang tirani. Tidak saja tentang Donggo, tapi Kabupaten Bima umumnya.





Esensi Nilai-Nilai





Ada banyak esensi nilai yang dapat
kita petik dari Peristiwa Donggo 1972:





1). Rakyat sadar Konstitusi. Hakikatnya mayarakat Donggo saat
itu, meyakini bahwa gerakan yang mereka lakoni adalah hak yang dijamin
undang-undang sebagaimana tertera pada pasal 28 UUD 1945.





2). Kebersamaan dan gotong royong. Bahwa apa yang ditujnjukkan oleh
peristiwa tersebut adalah bagaimana masyarakat mengesempingkan urusan mereka
pribadi demi kepentingan yang lebih besar. Maka sebagai bangsa yang masih
membangun, sikap-sikap Altruistik seperti 
itu merupakan cara ampuh mempercepat tercapainya tujuan.





3). Keberanian menyatakan kebenaran
meskipun pahit.
Peristiwa
tersebut menggambarkan pula bagaimana sikap taat dan hormat, harus “berbalik arah”
menjadi berontak jika ada keganjilan terjadi. Sikap objektif harus di
kedepankan ketimbang harus berlindung dibalik kekuasaan yang sifatnya
sementara. Karena di situlah tampak kemurnian perjuangan.





4). Tanggung Jawab dan rela
berkorban.

Sebuah perjuangan tentu ada konsekwensinya, terlebih jika harus melawan kekuasaan.
Tokoh yang di cap sebagai penggerak berani bertanggung jawab. 7 pintu penjara bagi
mereka seolah pintu istana. Tak tehitung berapa kali popor senapan menghantam
tubuh mereka. Berapa tulang yang patah karena dibanting, kuku dicabut, darah
bercucuran bahkan nyawa hampir melayang. Tapi tak ada keluh apalagi sesal.
Bahkan mereka bangga dengan apa yang rasakan.





Tidak banyak orang mampu seperti itu.
Namun selayaknya kita teladani. Karena generasi kita terlalu banyak tantangan





5); Simbolik berbasis kearifan lokal. Bahwa Peristiwa Donggo 1972 juga sarat
dengan nilai-nilai simbol. Harapan untuk diangkatnya Abdul Kahir Salahuddin/Putera
Kahir (putra Sultan Bima terakhir Sultan Salahuddin) sebagai Bupati Bima, adalah
bagian dari gerakan politik simbol dan primordial. Dalam konteks ini, bukan
pada upaya pelanggengan sikap feodalistik pada keturunan raja, namun lebih pada
representasi identitas kebudayaan “Mbojo
yang terkesan mulai terkikis. Dengan itu, diharapkan mampu menetralisir
berbagai kepentingan politik saat itu yang sangat “Militeristik”. Tuntutan mengangkat Putera Kahir sebagai Bupati Bima
juga sebagai antithesis dari kesewenangan pemerintah Pusat atas berkuasanya
“orang luar” yang tidak teruji integritasnya, yang berpotensi membawa kabur
kekayaan daerah.





pada level yang lebih kecil, Aksi
simbolik juga ditunjukkan dengan pemakaian atribut tradisional seperti “Sambolo”
yakni topi khas Dou Donggo pada saat demonstrasi berlangsung. Selain itu
senjata-senjata tradisional diikut sertakan sebagai identitas budaya yang turut
mempengaruhi spirit dan membangkitkan gelora perjuangan kala itu.





Dalam konteks keindonesiaan hari ini,
gerakan ini sebagai bagian dari upaya pelestarian kearifan lokal budaya, sebagai
bagian pertahanan budaya. Sisi lain juga sebagai representasi dari kebhinekaan
yang selama ini kita junjung.





6); Etis Dan Religius. Pada sisi nilai-nilai etik, gerakan
peristiwa Donggo 1972 tidak melupakan sisi-sisi manusia sebagai “homoreligius”.
Dimana gerakan harus dilandasi oleh sikap spiritual dan nilai-nilai keTuhanan,
sebagai implemetasi Habluminallah.





Sebagai gambaran, Pada saat peristiwa
berlangsung, pekikan Takbir selalu menggema. Begitupun ketika masuk waktu
sholat wajib, semua demonstran melakukan shalat berjamaah. Hal ini menandakan
bahwa, gerakan itu semata-mata mengharapkan perlindungan hanya dari Sang Maha
Kuasa, Allah SWT.





Sikap santun dan sopan yang
ditunjukkan para demonstran juga membuat simpatik warga Kecamatan Bolo yang
juga ikut memberikan dukungan moril maupun materil pada saat itu. Bantuan logistik
diberikan warga di sepanjang perjalanan memberikan gambaran betapa besar
dukungan warga kecamatan lain dalam gerakan tersebut.





Hakikatnya sebuah gerakan yang
dilakukan secara etik yang landasi sikap religious niscaya akan berbuah
simpatik. Karena sesungguhnya, ada sebuah misi besar yang ingin kita capai,
ketimbang sekadar mencari sensasi dengan hal-hal yang mencederai hakikat
perjuangan.





Kesimpulan





Peristiwa Donggo 1972 tentu jadi
inspirasi dalam kehidupan berdemokrasi kita hari ini. Baik kita sebagai rakyat
maupun bagi mereka yang berkuasa. Bagi rakyat (siapapun) niscaya memahami
esensi dari sebuah gerakan. Bahwa halangan, keterbatasan, kekurangan jangan
menjadi penghalang misi perjuangan. Perjuangan yang didasari dengan iman dan
niat tulus pasti akan tercapai. Pola yang dilakukanpun tidak mesti harus
mengadopsi budaya orang (Barat), karena kita tidak mungkin jadi seperti mereka.
Kita punya kearifan norma, adat dan tradisi. Ambil saja ilmunya, terapkan
menurut cara kita.





Bagi para pemimpin, harus sadar,
bahwa apa yang menjadi kebijakan selalu terpantau oleh rakyatnya. Rakyat
sekarang sudah cerdas. Kebebasan terlampau liar. Teknologi Informasi terlanjur
membanjir. Bahwa rakyat selalu punya cara untuk berkata dan bertindak.





Membangun bangsa adalah hasil
sinergi. Dan butuh energy. Rakyat dan pemimpin niscaya berbagia peran. Tidak
ada yang saling menindih dan menindas. Tidak apa ada air mata, yang penting
untuk mecari mata air. Semoga Indonesia makin sejahtera. (*)


Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda