Kematian Muardin, Matinya Nurani Para Pemimpin - Bima News

Minggu, 06 November 2022

Kematian Muardin, Matinya Nurani Para Pemimpin

Kadafi
Oleh: Muamar Afdal, Tim PBH LPW NTB 

Meninggalnya Muardin menjadi tragedi pahit bagi keluarga, anak dan cucunya. Menjadi sejarah kelam bagi pesta demokrasi yang berlangsung di Kecamatan Ambalawi, Kabupaten Bima. Musibah yang sama tidak tertutup kemungkinan akan kembali terjadi pada masa yang akan datang.

Pilkades serentak, ricuh, menjadikan Muardin sebagai tumbal. Kondisi ini menjadi preseden buruk bagi Pilkades serentak di Kabupaten Bima. Siapa yang bisa memberikan jaminan, pesta demokrasi yang akan berlangsung di Kabupaten Bima ke depan akan baik-baik saja.

Kendati aparat penegak hukum mengaku, mengerahkan kekuatan TNI dan Polri untuk menjaga keamanan selama pelaksanaan pesta demokrasi.  Supaya berjalan lancar, aman dan terkendali. Karena peristiwa yang menimpa Muardin, justru terjadi disaat aparat keamanan melakukan tugasnya mengamankan pesta dmokrasi.

Kisah Tragis Demokrasi

Demokrasi adalah sistem yang di anut oleh bangsa Indonesia yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, serta kesamaan hak. Menghargai pendapat, keberagaman, kepercayaan, pilihan, cita-cita, serta mengedepankan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana yang termuat dalam "Pasal HAM UUD 1945".

Di lansir dari "Kumparan.com (2/3/19)", sebagai pembanding, ada kisaran ratusan bahkan ribuan penyelenggara dan pengawas pemilu bernasib seperti Rudi dan Niman. Berdasarkan data KPU per Rabu (1/5) malam, total 380 meninggal dunia, 3.192 dalam keadaan sakit. Jumlah itu belum termasuk korban dari jajaran pengawas pemilu.

Infografis Korban Nyawa di Pemilu Raya

Bawaslu mencatat 79 orang pengawas meninggal. Sementara, korban dari pihak kepolisian mencapai 22 orang yang wafat. Dengan penyebab kematian para korban beragam. Tetapi, sebagian besar dari mereka mengalami serangan jantung. Rentetan panjang proses pemilu diduga menjadi menjadi pemicunya.

Hingga pada 6 Juli 2022, Pilkades serentak (Kabupaten Bima) menelan korban nyawa. Beberapa korban luka-luka akibat tembakan gas air mata dan satu korban meninggal dunia (Muardin). Di duga kematian Muardin akibat terkena benda tumpul (hasil autopsi jenazah dan keterangan saksi-saksi), dugaan kuat mengarah akibat terkena tabung peluru gas air mata.

Walaupun kematiannya berbeda-beda penyebab (antara kelelahan dengan konflik), namun tragedi pemilu 2019 hingga Pilkades serentak Kabupaten Bima 2022, terekam peristiwa yang sama, ada korban meningga dunia. Ini menyimpulkan bahwa demokrasi dari tahun ke tahun tidak aman, selalu saja ada tumbal.

Hukum dan Sistem Penegakan

Hukum materil akan tegak apabila hukum formil berlaku tegak. Jadi perangkat hukum formil menjadikan hukum ini sebagai pejantan sesungguhnya yang bisa memberikan rasa aman, nyaman, damai serta ketertiban.

Hukum dalam sistem penegakan menyerukan kesamaan bagi setiap manusia asas (aquall). Ini jelas diuraikan dalam asas hukum pidana tentang kesamaan di depan hukum. Namun tidak secara tegak lurus diberlakukan, atas kepentingan-kepentingan tertentu, kemurnian hukum tergeser oleh sistem penegakan yang tidak taat hukum.

Prof. Dr. Soerjono Soekanto berpendapat bahwa penegakan hukum terjadi apabila ada ketidakserasian antara nilai, kaidah, dan pola perilaku (Tritunggal).

Namun penegakan hukum akan tidak maksimal bila dipengaruhi oleh faktor hukum (kebijakan), penegak hukum (tidak profesional) sarana atau fasilitas (tidak memadai), kondisi masyarakat (hilang kepercayaan) dan pengaruh kebudayaan (bertolak belakang).

Selain dari faktor-faktor tersebut timbul faktor-faktor yang menyayat moral hukum. Seperti halnya kasus "Sambo dan Teddy Minahasa". Yakni, tindakan inkonsistensi serta an-profesional Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ini yang memicu lunturnya kepercayaan publik pada tubuh institusi Kepolisian RI, sehingga tuntutan Reformasi Birokrasi sedang gencar dilakukan.

"Setiap masyarakat dianggap tahu hukum", asas yang menjadi dasar untuk menutup sebuah alasan dari perbuatan yang melawan hukum. Sekalipun produk hukum tersebut baru saja disahkan dan diundangkan serta diumumkan dalam berita Negara.

Di sini peran Lembaga-lembaga penegak hukum atau lembaga terkait dalam melakukan "advokasi" agar hukum dan peraturan perundang-undangan dapat benar-benar disosialisasikan dan dipatuhi oleh semua komponen. Seperti halnya membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang konsisten.

Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai dan diprakarsai oleh "Catur Wangsa" atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi. Yang berwenang melakukan penegakan hukum.

Misteri Kematian Muardin

Hingga kini belum ada titik terang tentang siapa yang berbuat di balik meninggalnya Muardin. Berdasarkan uraian kuasa hukum Muardin (PBH LPW) yang diwakilkan Adhar, S.H,M.H mengaku, belum ada benang merah atas kasus yang menimpa kliennya.

Beberapa catatan dari hasil investigasi tim mereka menyatakan, ada indikasi pengaburan fakta-fakta hukum. Intimidasi saksi-saksi, dan mengesankan seolah-olah kasus ini tidak bisa diungkap.

Tidak heran, hingga hari ini penyidik Polres Bima Kota belum menetapkan siapa tersangka atas meninggalnya korban Muardin. Alasannya belum ada alat bukti.

Miris, apakah kematian Muardin dianggap seperti hal matinya anak ayam?  Apakah tidak ada yang terluka, berduka, ataukah kematiannya Muardin menjadikan matinya nurani Kopilisian Resor Bima Kabupten/Kota, Polda NTB serta Pemda Bima dan Pemprov NTB?

Tugas pokok dan wewenang Polri diatur melalui Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tertuang pada Pasal 13, yakni: Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, Menegakkan hukum, dan Memberikan perlindungan, pengayom.

Kalau saja kasus yang menimpa Muardin tidak secara terang diproses dan tidak pula menemukan kesimpulan, tentu akan menjadi catatan buruk bagi institusi kepolisian.

Tidak hanya polisi sebagai penegak hukum, pemerintah Kabupaten Bima dalam hal ini Bupati Bima juga harus bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Sebagai bentuk pemerintahan yang baik, pengayom, melindungi, serta sebagaimana falsafah "Bima Ramah".

Artinya percikan falsafah itu tidak hanya hidup dalam genggaman kata, semboyan saja, tetapi hidup dalam napas perjuangan, napas Pemda Bima.

Harusnya peristiwa ini tidak mesti melibatkan pemuda/mahasiswa, LSM, serta kelompok-kelompok tertentu. Kalau nurani instansi pemerintah, kepolisian itu kuat nan pemerhati.

Jangan salahkan masyarakat kalau keberlakuan sistem hukum absolutisme dalam dataran masyarakat atas hilangnya kepercayaan terhadap institusi Kepolisian dan pemerintah itu terjadi di Kabupaten Bima. (*)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda