Tempati Gubuk Reot Pinggir Pantai, Pasutri Lansia Ini Hidup Prihatin - Bima News

Jumat, 20 Mei 2022

Tempati Gubuk Reot Pinggir Pantai, Pasutri Lansia Ini Hidup Prihatin

 

Ishaka dan Rugaya pasangan suami isteri sedang duduk di bale-bale depan gubuk mereka di pinggir  Pantai Kalaki, Desa Panda, Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima, Senin (16/5).

Pasangan suami istri (Pasutri), Ishaka dan Rugaya adalah salah dari sekian pasangan lanjut usia (Lansia) yang masih terus berjuang untuk sesuap nasi. Kondisi ekonomi memaksa mereka u
terus bekerja agar bisa melanjutkan hidup.

-------------------------

Di pinggir Pantai Kalaki Desa, Panda Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima terlihat sebuah gubuk reot. Gubuk berukuran 3x5 meter itu ditempati Pasutri Lansia Ishaka, 78 tahun dan Rugaya, 75 tahun.

Gubuk yang ditempati warga asal Desa Talabiu, Kecamatan Woha ini jauh dari layak. Sebagian dindingnya ditutupi dengan tripleks, sebagian lainnya dengan bambu. Atapnya ditutupi terpal bekas, berlantai tanah.

Tempat tidur terbuat dari papan kayu yang sudah mulai lapuk. Tidak ada kursi dan lemari. Tidak heran, pakaian dan sejumlah barang terlihat berantakan.

Kalau lagi pasang, air laut bisa setinggi lutut menutup lantai rumah. Ishaka bersama isteri harus  mengangkat barang dan pakaian di  tempat yang lebih tinggi. 

Setelah air laut surut,  lantai gubuk dibersihkan agar tidak mengundang  nyamuk. "Kalau ndak dibersihkan banyak nyamuk. Namanya di pinggir pantai, pasti nyamuknya banyak," keluhnya.
 
Sebelum menempati gubuk reot pinggir pantai, Ishaka bersama tiga orang anaknya kini telah berkeluarga, tinggal di Desa Talabiu, Kecamatan Woha. 

Kondisi ekonomi saat itu cerita Ishaka cukup stabil. Mereka memiliki sebidang tanah dan tambak ikan bandeng sebagai penopang kebutuhan keluarga.

Lambat laun, ekonomi rumah tangga mereka morat-marit. Semua harta benda dijual. Hingga  ia bersama isteri pindah ke Pantai Kalaki, menempati gubuk reot hingga saat ini.

"Sudah sekitar 30 tahun saya dan isteri menetap di sini," akunya.

Tinggal digubuk reot, bagi Ishaka bersama isteri menjadi pilihan terakhir, sambil menunggu sisa umur sebelum menghadapi Sang Pencipta.

Untuk menyambung hidup, selain dibantu tiga anaknya. Pasutri ini menangkap ikan. 

Tidak banyak yang diperoleh dalam sehari. Jika beruntung, bisa dapat ikan dengan harga Rp 70 ribu. Kadang sama sekali tidak dapat.
 
"Kalau lagi cuaca buruk, saya bersama isteri kumpulkan kayu bakar di pinggir pantai untuk dijual," ujarnya.

Kayu itu biasanya dibeli oleh warga yang menggelar acara makan-makan di sekitar pantai. Bahkan ada juga yang sengaja datang membeli dari desa sekitar Kecamatan Palibelo dan Woha.

"Kadang juga ada orang yang datang membawakan kita beras," katanya.

Selama 30 tahun menempati gubuk reot, Ishaka mengaku baru satu kali mendapat bantuan dari pemerintah daerah. 

Itupun ketika pandemi Covid-19 mewabah. Hanya dapat bantuan telur dan beras. Untuk bantuan lain seperti,  bedah rumah belum pernah.

"Di kampung saya ada sejumlah KK yang dapat bantuan rumah kumuh. Saya malah tidak dapat. padahal KTP saya tercatat sebagai warga Desa Talabiu," keluhnya.

Tidak banyak yang diharapkan Ishaka dan isteri di sisa usia mereka. Jika bukan rumah, paling tidak pemerintah memberikan bantuan beras, peralatan dapur dan kebutuhan lain.

Sehingga anak-anaknya tidak lagi terbenani. Apalagi ketiga anaknya itu juga hidup dengan keterbatasan. 

Mereka menyambung hidup dari hasil buruh tani dan buruh lepas di pelabuhan Soekarno-Hatta Kota Bima.

"Saya bersama anak-anak hidup susah. Tidak punya lahan pertanian seperti warga lain," tuturnya dengan mata berkaca-kaca. (Juliadin)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda