Ujung Perjalanan Demokrasi - Bima News

Sabtu, 13 November 2021

Ujung Perjalanan Demokrasi

Safitri
Oleh: Ainu Safitri, Mahasiswa PGSD Universitas Muhammadiyah Malang

Berawal dari dilantiknya Soekarno-Hatta sebagai presiden dan wakil presiden sehari setelah kemerdekaan negara Indonesia dideklarasikan , yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945. Pada saat itu pemerintah Indonesia belum mengatur sistem apa yang akan di anut oleh negara Indonesia. Presiden dan wakil presiden pun saat itu masih mencari sistem apa yang sekiranya cocok untuk dianut dan dijalankan oleh negeri ini.

Demokrasi, dipilih, diputuskan menjadi jalan. Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang dilandasi oleh konsep berpikir dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam mejalankan pemerintahan, pemerintah dikontrol dan diawasi oleh rakyat melalui undang – undang yang dibuat oleh wakil-wakilnya di parlemen. Dalam sistem demokrasi juga mengenal sebuah konsep “trias politika”, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Dalam perjalanan Demokrasi di Indonesia, pertama kali dikenal dengan istilah Demokrasi Parlementer pada tahun 1945 – 1959 yaitu demokrasi yang kerap kali disebut sebagai era demokrasi liberal. Munculnya sistem parlementer di Indonesia karena jatuhnya kabinet presidensial pertama pada tanggal 14 november 1945 yang disebabkan oleh keluarnya maklumat Wakil Presiden No. X/1945 pada 16 oktober 1945. Masa itu adalah masa kejayaan demokrasi di Indonesia, karena hampir semua elemen demokrasi dapat ditemukan dalam perwujudan kehiduupan politik di Indonesia.

Karakteristik yang dianut pada demokrasi parlementer yaitu sistem multipartai, basis sosial ekonomi yang masih sangat lemah, pengawasan ketat dari parlemen. Parlemen pemegang kekuasaan politik terbesar dan kabinet pemerintahan koalisi tidak stabil.

Terdapat 6 kabinet pada masa itu diantaranya, Kabinet Natsir (september 1950 – maret 1951), Kabinet Sukiman (april 1951 – april 1952), Kabinet Wilopo (april 1952 – juni 1953), Kabinet Burhanuddin Harahap (agustus 1955 – maret 1956), dan Kabinet Ali Sastroamijoyo (juli 1953 – agustus 1955).

Berakhirnya demokrasi parlementer kemudian muncullah demokrasi terpimpin pada tahun 1959 – 1966. Pada masa demokrasi ini dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional dan lebih menampilkan beberapa aspek dari demokrasi rakyat. Masa ini ditandai dengan dominasi presiden, terbatasnya peran partai politik dan perkembangan pengaruh komunis, serta peran ABRI sebagai unsur sosial – politik semakin meluas dan hak berserikat dan berkumpul dijamin.

Karakteristik demokrasi ini ditandai dengan melemahnya sistem kepartaian karena kekuasaan presiden yang semakin besar dan juga peran kontrol gotong – royong melemah, kewenangan daerah terbatas, kebebasan pers dibatasi dan sejumlah media dibredel. Selain itu juga pada sistem demokrasi ini pemilu tidak terselenggara dan tidak memperbaiki sistem ekonomi dan sosial pada masa sebelumnya.


Karikatur
Ilustrasi 


Kemudian muncul demokrasi baru yang dinamakan Demokrasi Pancasila/Orde Baru pada tahun 1966 – 1998 dimana masa demokrasi ini merupakan demokrasi konstitusional yang mengutamakan sistem presidensial. Gagasan formal periode ini adalah Pancasila, UUD 1945 dan ketetapan MPRS/MPR dalam rangka membenarkan kembali penyelewengan terhadap UUD 1945 yaitu terjadi pada masa demokrasi terpimpin. Namun dalam perkembanganya peran presiden semakin dominan terhadap lembaga-lembaga negara yang lain.

Era demokrasi pancasila diawali dengan suatu peristiwa sejarah yang sangat kelam bagi Indonesia yaitu Gerakan 30 September (G30S). Pada masa ini Indonesia menggunakan sistem presidensial sehingga kekuatan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sangat tinggi sehingga masih sangat kuat campur tangan pemerintah mengenai partai dan publik, masa ini tidak berlaku pergantian kekuasaan politik walupun penyelenggaraan Pemilu teratur setiap 5 tahun. 

Jumlah partai politik pun dibatasi dan juga kebebasan pers masih dibatasi dalam hal ini peran militer sangat kuat dengan konsep difungsi ABRI. Diakhir masa orde baru perekonomian kacau, harga BBM naik, kebutuhan pokok melambung kemudian terjadi demonstrasi masa yang dimotori mahasiswa yang menuntut reformansi.

Memasuki demokrasi terakhir yaitu Demokrasi Transisi/Reformasi mulai pada tahun 1998 – sekarang, era reformasi di awali dengan turunnya Soeharto karena demonstrasi masa yang dimotori mahasiswa pada tahun 1998. Era reformasi sangat berakar pada kekuatan multipartai yang berusaha mengembalikan perimbangan kekuatan antar lembaga negara yaitu eksekutif, legislatif dan yudikadif. Pada masa ini peran partai politik kembali menonjol, sehingga iklim demokrasi memperoleh nafas baru. Dengan kata lain demokrasi era reformasi ini kurang mendasar pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seperti yang diterapkan pada sila ke-5.

Demokrasi ini parlemen terdiri dari banyak partai yaitu menggunakan sistem unjuk partai, sistem pemilihan langsung dilakukan untuk presiden dan kepala daerah. Pada Demokrasi ini pers dan media dibebaskan menyatakan pendapat, saat ini Indonesia menggunakan sistem desentralisasi dengan mode otonomi daerah.

Dari sistem demokrasi sekarang kerap kali kualitasnya dianggap menurun dalam tujuh tahun terakhir, Indonesia menunjukkan penurunan kinerja demokrasi yang serius, salah satu faktor utama penurunan itu adalah masih kuatnya diskriminasi terhadap kalangan yang dianggap minoritas, yang kadang diwujudkan dengan menggunakan kekerasan, dan seolah dibiarkan oleh pemerintah. Karena itu, ke depan, Indonesia memerlukan kepemimpinan strategis di tingkat pusat hingga daerah yang mengedepankan prinsip-prinsip dasar kesetaraan warga negara. Dengan kata lain sistem demokrasi di Indonesia masih dianggap sebagian bebas.

Di sisi lain, yang menyebabkan kinerja demokrasi di Indonesia dianggap terus menurun adalah yang terkait dengan dimensi kebebasan sipil. Termasuk dalam kebebasan sipil antara lain kebebasan berbicara, kebebasan akademik, kebebasan berorganisasi serta kebebasan menjalankan dan menyatakan keyakinan agama atau bahkan tidak percaya pada agama secara tidak terbuka.

Selain itu, kebebasan berkumpul juga masih kurang terlindungi, terutama berkumpul untuk protes terhadap pemerintah terkait dengan kasus-kasus masa lalu. Ada intimidasi terhadap gerakan yang berusaha meminta pemerintah membuka kembali kasus kekerasan G30S, kerusuhan 1998 dan lainya.

Belakangan ini, masyarakat semakin merasa takut untuk berbicara, dengan cara penutupan saluran ekspresi di media sampai dengan penangkapan oleh polisi secara sewenang-wenang. Seharusnya setelah lebih dari 20 tahun kita meninggalkan rezim otoriter orde baru, kualitas demokrasi kita sudah sepantasnya  berangsur membaik terutama dalam hal kebebasan penuh dalam menyamapaikan pendapat dan berekspresi.(*)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda