Toleransi Satu Atap yang Mengakar di Mbawa Bima - Bima News

Selasa, 27 April 2021

Toleransi Satu Atap yang Mengakar di Mbawa Bima

Uma Leme
Inilah Uma Leme yang menjadi tempat sakral bagi warga Desa Mbawa Donggo untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi di desa maupun antar warga
 

Kristen Katolik, Protestan dan Muslim, hidup dalam satu  atap kerukunan di Desa Mbawa, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima. Jauh dari sentimen agama, rasisme, emosional dan perbedaan latarbelakang dalam keseharian. Pluralisme ini  telah memutus sekat perkawinan beda keyakinan sejak tahun 1970. Inilah realitas yang terawat, menjadi segmen menarik untuk edukasi sekaligus pariwisata.  Bagaimana gambaran tantangan memelihara kerukunan di sana? Berikut catatan Atina, wartawan Radar Tambora.

Lucia Marni dan Paulus Isak bergegas menuju sebuah gubuk sederhana berbentuk lancip. Warga lain mengiringi langkah cemas keduanya. Di rumah lancip,  konstruksi dasar kayu dan atap ilalang , usianya sudah ratusan tahun. Rumah adat Uma Leme konon dibangun Ncuhi Mbawa  dengan tinggi sekitar 7 meter, panjang dan lebar 3 x 4 meter.

Di sana, sejumlah tetua adat menunggu kedatangan pasangan yang sepertinya sulit dipisahkan, Lucia Marni dan Paulus. Mereka akan melalui proses “pengadilan” adat.

Lucia Marni, awalnya seorang  gadis Muslim di Desa Mbawa. Saat duduk di bangku SMA,  dara yang sebelumnya bernama Rini ini, jatuh cinta pada seorang pemuda Katolik bernama Paulus Isak. Keduanya berpacaran.  Merasa cocok satu sama lain.  Merekapun sepakat ke jenjang pernikahan.

Namun kisah cinta mereka tidak mulus. Bukan saja karena perbedaan latarbelakang keluarga, tapi lebih berat. Karena mereka beda keyakinan.

Perasaan cinta Lucia yang terus terawat kepada Paulus, membawanya pada keputusan teramat sulit dan berat. Dia harus memperjuangkan dua hal sekaligus. Cinta dan siap menerima resiko harus pindah agama, mengikuti keyakinan pujaan hati.

Saat ditemui Radar Tambora Rabu (14/4), Lucia mengisahkan keinginan yang  kuat menikah dengan Paulus, namun ditentang keluarga. Beruntung, diantara pertentangan itu  Lucia masih mendapat dukungan dari kedua orang tuanya.

"Orang tua saya menerima saja, mana yang terbaik. Namun yang menentang itu, dari keluarga yang lain," ungkap Lucia.

Pertentangan kuat itu memaksanya berkali-kali  selarian dengan Paulus. Tidak ada pilihan lain untuk menghindari pertentangan itu. Namun saat bersamaan pula,  berkali-kali  pula kedua pasangan mabuk asmara ini dikembalikan ke orang tua mereka.

Hingga pada akhirnya, tokoh adat urun rembug dengan tokoh agama. Mereka  turun tangan menyelesaikan persoalan serius, karena sudah melibatkan dua keluarga besar.  Bahkan keluarga Lucia  sempat melibatkan Polisi untuk memediasi.

"Saya tetap bersikukuh. Saya ingin mengikuti suami saya. Orang tua saya pun tidak menentangnya, " kata Lucia.

Selain orang tua, lingkungan sekitar Lucia juga memberikan dukungan  atas pilihan yang diambil. Ia beruntung hidup di lingkungan yang menghargai pilihannya.  Samasekali tidak dikucilkan oleh masyarakat di dusunnya, meskipun mayoritas Muslim.

Kisah mereka sampai pada titik di mana para tetua adat dan tokoh agama berembug di Uma Leme.  Menyelesaian masalah, sehingga hubungan keduanya direstui.  Nilai ketokohan dari tokoh adat dan tokoh agama yang kuat, sehingga itu diterima pihak keluarga. Meski sebagian masih belum  menerima dengan terbuka.

Wujud dukungan itu terlihat dari orang tua dan warga yang menghadiri pemberkatan pernikahan mereka di Gereja ST Yohanes Maria Vianney Dusun Tolonggeru, Desa Mbawa, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima.

"Tetangga dan orang kampung biasa saja. Tidak ada yang mengucilkan atau gimanain saya. Saat saya nikah, mereka hadir. Hanya beberapa keluarga terdekat, yang belum bisa terima  saya memeluk Katolik, " ungkapnya.

Kini Luciana sudah memiliki tiga anak dan hidup bahagia bersama Paulus. Fakta menarik dari hubungan keluarga ini,  kedua orang tua Luciana hidup bersama dengan mereka dengan tetap memeluk agama Islam.

"Ibu saya masih kuat dan tetap memeluk Islam dengan taat. Sama sekali tidak ada masalah yang muncul soal agama diantara kami, " tandas Luciana.

Kerabat yang sempat menentang pernikahannya dulu, kini sudah menerima dan jalinan silaturahmi tetap terjaga.

Prahara Cinta dan Hukum Adat

Di Desa Mbawa, banyak kisah pernikahan yang diawali dengan perbedaan agama. Jika di daerah lain di Indonesia menganggap, mereka yang pindah agama karena pernikahan merupakan masalah besar. Bagi penduduk Desa Mbawa, bukan sesuatu yang baru.

Suherman H Yasin, menikah dengan seorang  gadis Katholik bernama Naimah. Pacaran hanya beberapa bulan, lalu mereka sepakat menikah. Sempat ragu karena perbedaan keyakinan, tapi Naimah dengan tegas menyatakan, siap  menjadi mualaf.

"Kebetulan di keluarga saya, sudah ada yang  jadi mualaf, " ungkap Naimah.

Suherman sempat Ne'e Uma Tua (selarian) dengan Naimah.  Merupakan adat lama di Desa Mbawa ketika ingin menikahi seorang gadis.

Saat itu, para tetua adat, kepala dusun, kepala desa dan orang tua dua calon pengantin bertemu membahas jalan terbaik untuk Suherman dan Naimah. Kata sepakat, mereka menikah  secara Islam, setelah Naimah mengaku siap menjadi mualaf.

Menikah tahun 2011 lalu, kini memiliki dua anak. Hubungan Naimah dengan kedua orang tuanya yang masih memeluk agama Katolik yang taat masih terjaga.

Bahkan ketika Ramadhan, Naimah masih sering mendapatkan kiriman menu untuk berbuka puasa dari sang ibunda yang beragama Katolik.

Selain dengan orang tua dan keluarga terdekat, hubungan Naimah dengan warga katholik lainnya tetap terjaga dengan baik. Dibesarkan dengan tingkat toleransi yang tinggi, membuat Naimah tidak pernah merasa dikucilkan meski telah pindah memeluk agama Islam.

Agustinus Syamsudin, masuk Islam pada tahun 1981 silam dan mengganti namanya menjadi Syamsuddin. Syamsuddin jatuh cinta dengan seorang muslimah Mbawa bernama Ramlah. Syamsuddin merupakan orang pertama  yang mengaku memeluk Islam di lingkaran keluarganya yang semuanya pemeluk Katolik.

Syamsuddin melamar Ramlah, setelah menemui tokoh adat di Desa Mbawa. Saat itu Syamsuddin mengaku, sempat dinasehati soal sebab akibat ketika ingin melamar seorang perempuan Islam.

"Saat itu saya bilang, saya siap masuk islam, " aku Syamsuddin.

Syamsuddin memiliki 6 saudara, yang terdiri dari 4 orang perempuan dan 3 laki-laki. Dari jumlah saudaranya tersebut, ia bersama satu orang kakak perempuannya telah menjadi mualaf.

"Sama sekali tidak ada paksaan dari siapapun. Keluarga kami juga menerima dengan baik. Teman dan kawan gereja yang bersama dengan kami sebelumnya, tetap berkomunikasi dengan baik, " beberapa Syamsuddin.

Kisah pernikahan beda agama, tidak hanya menceritakan bagaimana pemuda atau pemudi Nasrani memeluk Islam. Tapi juga ada  pemuda pemudi Muslim  yang kemudian memeluk Katholik setelah bertemu dengan pujaan hati mereka.

Terganjal UU Perkawinan

Ignasius Ismail, guru agama Katolik yang juga pengurus gereja ST Paulus Desa Mbawa mengungkap keunikan dilakukan warga setempat menyikapi perbedaan agama.

Ignasius mengaku, banyak umat Nasrani yang telah memeluk Agama Islam dan rata-rata diawali dari sebuah pernikahan.

Dalam konteks ini, pihaknya sama sekali tidak keberatan karena persoalan agama merupakan  hak individu seseorang dengan Tuhannya.

"Rata-rata, ketika ada yang ingin menikah, pasti ke sini dulu untuk berkonsultasi. Saya pun akan langsung bermusyawarah dengan tokoh adat untuk membahasnya, " aku Ignasius.

Ada beberapa persoalan pernikahan, yang didasari perbedaan keyakinan yang dimediasi Ignasius. Awalnya, kedua pasangan tetap dengan agama yang dianutnya. Akan tetapi, karena UU Perkawinan di Indonesia tidak membolehkan, mau tidak mau pasangan harus memilih mengikuti salah satu agama yang dianut.

"Ada beberapa kasus yang kami mediasi, yang akhirnya berujung pada kesepakatan pengantin, akan memeluk agama yang mana. Mayoritas memang, akan masuk ke agama Islam, " ungkap Ignasius.

Meski sempat terjadi pergolakan di internal keluarga, pernikahan yang didasari beda agama ini tidak pernah menimbulkan gejolak di tengah kehidupan masyarakat.

"Kalau di internal keluarga, tentu kita sangat pahami. Itu pun tidak berlangsung lama, " tegasnya.

Dari data yang disebut Ignasius, jumlah pemeluk agama Katolik saat ini sebanyak 237 KK. Sejak berdomisili di Desa Mbawa pada tahun 1999, ia selalu merasakan kerukunan beragama itu terus terawat.

Beberapa ritual leluhur yang wajib digelar setiap tahunnya di Desa Mbawa. Seperti Raju dan Kasaro, warga melakukan ritual syukuran setelah masa panen kepada leluhur Desa Mbawa.

Warga dari tiga Agama, akan meletakkan sesajian di Uma Leme dan berdoa diberikan kemudahan untuk musim tanam berikutnya. Termasuk juga, acara Karawi Rasa (hajatan kampong) dan Mbolo Weki (kumpul keluarga) yang selalu digelar warga Mbawa jika ada yang berhajat.

"Kami merayakan Paskah , Natal dan hari kebesaran lain pun juga menggelar Mbolo Weki terlebih dahulu dan itu dihadiri dan diurus warga yang beragama Islam, " bebernya.

Bagi Ignasius, rasa kekeluargaan pada warga Desa Mbawa lebih besar dibandingkan perbedaan agama yang ada. Karena jika dirunut, sebenarnya warga di Desa Mbawa berasal dari leluhur yang sama.

"Kami sangat menjunjung satu pola kekeluargaan. Meski di luar sana menilai sedikit aneh, tapi kami hidup dengan damai di sini, dengan segala keberagaman kami, " pungkasnya.

Bonus Wisata Pluralisme 

Desa Mbawa Kecamatan Donggo Kabupaten Bima, berada di ketinggian 1500 mdpl. Mayoritas penduduknya, bermata pencaharian sebagai petani.

Berada di daerah pegunungan, desa ini memiliki hawa yang dingin.  Ada dua jalur alternatif jika berangkat dari Kota Bima. Melalui jalur laut, menempuh 30 menit perahu motor ke Dermaga Bajo, lanjut perjalanan darat sekitar 30 menit. Sementara jalur darat, sekitar 1 jam perjalanan melalui Kecamatan Bolo.

Saat menapaki kaki di Desa Mbawa, sangat terasa kesibukan petani karena sedang musim panen.   Ribuan hektare ladang Jagung menghampar di lekuk perbukitan yang dulunya hutan Kemiri dan Jati.

Di Desa Mbawa, ada yang menarik perhatian. Dari jauh terlihat lambang Salib dari atap sebuah gereja. Di sisi lain, terlihat ada kubah masjid yang sederhana.

Desa Mbawa, merupakan desa yang memiliki keberagaman agama dan hidup rukun tanpa ada sengketa akibat perbedaan itu. Dibandingkan dengan desa lain di Kecamatan Donggo, hanya Desa Mbawa yang memiliki penduduk dengan agama yang beragam.

Data yang diperoleh dari Kantor Desa Mbawa, jumlah penduduk Desa Mbawa tahun 2020  sebanyak 4.773 jiwa. Ada tiga agama yang dipeluk penduduk Desa Mbawa, yakni Islam sebanyak 3.733 jiwa, Kristen Protestan sebanyak 96 jiwa dan Kristen Katholik sebanyak 942 jiwa.

Meski Islam menjadi mayoritas, namun persamaan hak bagi penduduk agama Protestan dan Katholik dijamin. Ada banyak faktor yang menyebabkan pluralisme dan toleransi dijunjung tinggi di Desa Mbawa.

Seperti kepercayaan leluhur mereka, yang masih terjaga dengan baik hingga saat ini. Sejumlah ritual bagi leluhur, masih terus dijalankan semua penduduk tanpa melihat latarbelakang agama.

Termasuk adanya rumah adat warga suku Donggo yang disebut Uma Leme. Menjadi  tempat penyelesaian jika ada sengketa warga, termasuk sengketa yang menyoal perbedaan agama.

Tokoh adat yang terdiri dari keterwakilan tiga agama, menjadi tokoh yang disegani dan diikuti keputusannya. Sehingga, apapun sengketa yang terjadi, perbedaan yang muncul, akan selesai ketika tokoh adat Mbawa turun tangan dan membahasnya di Uma Leme.

Diikat Garis Darah

Ada banyak toleransi yang menurut para budayawan di Bima menjadi fenomenal di Mbawa. Satu rumah, ada yang hingga tiga agama. Anak pertama Muslim, Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Namun dalam kesehariannya biasa saja. Tidak ada sekat karena beda keyakinan.

“Karena ini dibangun sejak dulu, dianggap sebagai sebuah privacy. Tidak ada yang membedakan Agama,” kata pemerhati Budaya Bima, Husain Laodet.

Pengalaman langsung Husain Laodet,  pernah menyaksikan acara Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Namun yang mempersiapkan segala sesuatunya bukan hanya mayoritas orang Islam, tapi juga dari ummat Nasrani terlibat aktif.

Begitu juga hari besar keagamaan Kristiani seperti Natal, banyak Muslim yang ikut membantu.  Dalam keseharian toleransi di sana juga ada batasan ketika berkaitan dengan menu makanan saat hajatan pernikahan.

Misalnya, ketika yang menikah beda agama, maka koki dari hajatan tersebut adalah orang beda agama. “Saat penyiapan makanan saja, dibedakan menu untuk yang muslim dan menu untuk nasrani,” ungkap Laodet.

Dari catatannya,  Toleransi yang terawat di sana tumbuh subur. Tidak pernah ada konflik yang berkaitan dengan SARA. Sebab mereka diikat dengan garis darah, bukan keyakinan.

Bagi Laodet, iklim tolrensi di Mbawa harus jadi rule model, bagaimana keyakinan bukan lagi unsur air dan minyak yang sulit menyatu. Sebuah kawasan percontohan bagaimana cara meredam konflik paling laten yang didasari beda keyakinan.

Memang, kata Laodet, dalam tinjauan hukum Islam, pernikahan beda Agama sangat bertentangan. Tapi baginya tidak berlebihan jika kerukunan ini dilihat dari tinjauan hubungan antar manusia dan hubungan dengan Allah SWT ;  hablu mina nash dan hablu minallah. Terbukti, kehidupan bermasyarakat di Donggo Mbawa sangat damai. (*)

Tulisan ini adalah bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda